Oleh: Harsa Permata
Sebenarnya
persoalan penguasa Indonesia dan neoliberalisme ini sudah teramat
sering diangkat dalam berbagai tulisan. Hanya saja dalam realitas
politik dan ekonomi Indonesia, kepentingan neoliberalisme masih saja
cukup dominan. Walaupun kemudian ada individu atau kelompok yang
menyerang individu atau kelompok lainnya secara politik dengan
menggunakan isu neoliberalisme, semua hanya sebatas kampanye hitam untuk
saling menjatuhkan secara politik.
Hal
ini pernah terjadi pada tahun 2009, ketika cawapres SBY, yaitu Boediono
diserang oleh lawan-lawan politiknya dengan isu ini. Ia juga dikatakan
mewakili kepentingan neoliberal di Indonesia.
Walaupun
pada kenyataannya memang, selama kebijakan-kebijakan politik
pemerintahan SBY-Boediono tunduk pada kepentingan neoliberal. Hal yang
jelas-jelas kelihatan sebagai perwujudan kepentingan neoliberal pada
pemerintahan SBY-Boediono, adalah kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar
Minyak (BBM), yang merupakan konsekuensi dari kepatuhan Indonesia pada
resep ekonomi ala IMF (International Monetary Fund), yaitu pencabutan
subsidi-subsidi rakyat, seperti BBM, listrik, telpon, pendidikan, dan
lain-lain.
Tapi
persoalannya kemudian, para lawan politik SBY-Boediono pun ketika itu
sebenarnya setali tiga uang. Mengapa demikian? Yang pertama adalah kubu
Megawati yang diusung PDIP, ketika yang bersangkutan berkuasa, harga BBM
juga dinaikkan. Bahkan rezim Megawati tercatat menaikkan harga BBM,
listrik, dan telepon secara serentak pada tahun 2002.
Yang
kedua adalah kubu Jusuf Kalla, yang ketika itu dicapreskan oleh Partai
Golkar. Selama 5 tahun berkuasa, rezim SBY-JK telah menaikkan harga BBM
sebanyak 3 kali. Puncaknya pada tahun 2008, kenaikan harga BBM diikuti
oleh aksi penolakan yang luas dan diwarnai kerusuhan.
Oleh
karena itu, pada masa pilpres (pemilihan presiden) 2009, isu
neoliberalisme yang disuarakan para politisi, tak lebih dari sekedar
maling teriak maling (meminjam satu baris lirik lagu Sumbang, Iwan
Fals).
Maling teriak maling
Sembunyi balik dinding
Pengecut lari terkencing-kencing
Kembali
pada tahun 2014, pasca pemilu legislatif, sikap menghamba pada
neoliberalisme ini dipertontonkan secara gamblang oleh PDIP dan Jokowi.
Menggelikan memang, entah karena kedunguan politik, atau memang karena
ketidakrapian struktur organisasi, sehingga sikap kolaborator ini bisa
terbongkar ke media.
Walaupun
dikatakan hal ini sebagai konflik kepentingan kubu fundamentalis
Katolik dan Kristen, seperti pendapat M. Sembodo di website tikusmerah,
sebenarnya ini bukanlah persoalan pertarungan antar faksi berbasis
agama, yang mendukung Jokowi. Akan tetapi hal ini adalah cerminan
kontradiksi antar kapitalis untuk berebut kekuasaan di Indonesia.
Kapitalis yang bagaimana? Yaitu kapitalis/pemilik modal yang lepas dari
sekat-sekat negara, yang dalam bahasa Bung Karno (Bapak biologisnya
Megawati ketum PDIP, bukan Bapak Ideologisnya), disebut sebagai nekolim
(neo kolonialisme dan imperialisme). Kaum kiri pada masa kini, menyebut
nekolim ini neoliberalisme.
Apa
itu neoliberalisme? Sebenarnya sudah banyak yang menjelaskan ini,
tetapi tidak ada salahnya kalau hal ini diulang kembali, karena ternyata
banyak yang tidak paham apa sebenarnya neoliberalisme itu.
Baiklah,
untuk memudahkan pemahaman, saya jelaskan secara sederhana,
neoliberalisme ini. Neoliberalisme ini sebenarnya adalah suatu
metamorfosa dari liberalisme ekonomi yang digagas oleh Adam Smith,
seorang pemikir Inggris. Liberalisme ekonomi ala Adam Smith ini
menginginkan kebebasan dalam ranah perekonomian. Kebebasan untuk
menghisap hasil kerja kaum buruh, dan kebebasan untuk memperdagangkan
hasil kerja buruh, tanpa campur tangan negara.
Krisis,
yang merupakan takdir sejarah, sistem ekonomi kapitalis, membuat
liberalisme ekonomi ala Adam Smith ini harus menyesuaikan diri.
Perubahan demi perubahan pola dilakukan. Walaupun berubah, esensinya
tetap sama, merampok hasil kerja kaum buruh, yang kalau kata Bung
Jenggot (Karl Marx) adalah nilai lebih.
Nilai
lebih adalah selisih dari biaya produksi (termasuk di dalamnya upah
buruh) dan harga jual produk yang dihasilkan buruh. Contohnya kalau
seorang buruh pabrik rokok, perhari dia bisa menghasilkan 1000 batang
rokok yang harga perbatangnya adalah 750-1000 rupiah. Total yang
dihasilkannya sehari adalah senilai 750 ribu – 1 juta rupiah. Sementara
gaji bulanannya paling tinggi, sesuai UMR DKI Jakarta dan Bekasi
hanyalah sekitar 2,4 – 2,9 juta rupiah. Perharinya jika dibagi, si buruh
ini hanya dapat 100-135 ribu rupiah. Hal ini jika dibandingkan dengan
UMR Jateng-DIY lebih mengenaskan lagi. UMR Jateng-DIY, kisarannya hanya
sekitar 1 sampai 1,5 juta perbulan, dengan ini buruh hanya dapat sekitar
45-70 ribu perharinya. Berapa selisihnya? Silahkan hitung sendiri.
Selisihnya itu adalah nilai lebih yang dirampok oleh pemilik modal dari
kaum buruh.
Liberalisme
maupun neoliberalisme ingin aksi perampokan ini bebas, tanpa campur
tangan negara. Pada masa sekarang dalam sistem neoliberalisme, para
borjuis (pemilik modal/kapitalis), bahkan bebas merampok hasil kerja
buruh di negara lain, dan kemudian memperdagangkan hasil kerja buruh di
negara lain tersebut ke negara lainnya. Perusahaan seperti Apple dan
Blackberry bahkan bisa dengan bebas merampok hasil kerja kaum buruh
Tiongkok, dan memperjualbelikan hasil kerja buruh Tiongkok tersebut pada
buruh Indonesia, yang mereka rampok juga lewat pabrik lainnya.
Begitulah neoliberalisme, yang berkuasa adalah modal.
Terkait
Jokowi, dia sendiri secara kelas juga borjuis (pemilik modal), dia
tercatat sebagai pengusaha mebel ekspor (dijual ke luar negeri). Jokowi
ini didukung oleh borjuis lainnya, yang kelihatan adalah Lippo Group dan
lingkaran CSIS, kumpulan intelektual dan borjuis penyokong orba (orde
baru).
Terakhir
dua kubu ini saling bersaing berebut pengaruh atas PDIP dan Jokowi
dengan serangkaian manuver. Lippo Group dan lingkaran CSIS ini
sebenarnya sama-sama neoliberal juga. Lippo Group ini terkenal dengan
aksi “kedermawanannya” terhadap Amerika Serikat. Mereka pernah jadi
donatur partai demokratnya A.S, dan Berkeley University, universitas
penghasil mafia perekonomian, yang banyak menjadi ekonom orba.
Resep-resep merekalah yang membuat Indonesia dirampok habis-habisan oleh
imperialisme (neoliberalisme). Guru besar mafia berkeley ini adalah
Soemitro Djojohadikusumo, yang merupakan ayah dari mantan Danjen
Kopassus, Prabowo Subianto, yang sekarang jadi capres Partai Gerindra.
Sementara
CSIS, adalah konsultan politiknya orde baru, organisasi ini didirikan
oleh Ali Moertopo, militer lingkaran dalam orba, yang merupakan orang
dekat Soeharto, penguasa orba.
Model
liberalisasi politik semu, yang otoriter dan anti komunis, yang menjadi
ciri utama orba, merupakan sumbangsih pemikiran lingkaran CSIS ini.
Sikap liberalisasi politik semu yang anti komunis ini serupa dengan
sikap politik pemerintah Amerika Serikat. Ini bisa dilihat dari
film-film propaganda yang diproduksi oleh perusahaan film Amerika
Serikat, Hollywood.
Persaingan
antara kubu Lippo Group dan CSIS ini sebenarnya bukanlah karena
persoalan keagamaan. Walaupun agama yang dominan dalam kelompok mereka
berbeda, kepentingan utamanya tetap kepentingan modal tadi. Kepentingan
untuk merampok sebebas-bebasnya nilai lebih kaum buruh.
Jika
kemudian Jokowi terlihat dengan gamblang bergandengan tangan dengan
kedua kubu ini, maka sudah bisa dipastikan bahwa Jokowi adalah orang
yang dipercaya oleh kedua kubu yang sama-sama neolib ini untuk
memperlancar perampokan mereka terhadap nilai lebih kaum buruh
Indonesia. Dengan kata lain, Jokowi merupakan antek imperialis, yang
mereka butuhkan untuk semakin dalam menghunjamkan kuku mereka di
Indonesia.
Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa citra nasionalis yang dibangun oleh PDIP dan Jokowi hanyalah omong kosong belaka.
Terakhir,
saya ingin mengutip pidato Fidel Castro tentang neoliberalisme, dalam
sebuah forum yang juga dihadiri oleh almarhum Gusdur, neoliberalisme
menurut Castro adalah,
“Suatu
realitas obyektif yang bisa lebih memperjelas fakta bahwa kita
sebenarnya merupakan penumpang dalam satu kapal yang sama, yakni, bumi
tempat kita hidup. Tapi, para penumpang kapal tersebut mengadakan
perjalanannya dengan kondisi-kondisi yang sangat berbeda.
Minoritas-kecil mengadakan perjalanan di kabin yang sangat mewah,
dilengkapi fasilitas internet, telepon selular, dan memiliki akses ke
jaringan-jaringan komunikasi global. Mereka bisa menikmati makanan yang
bergizi, sehat, dan berlimpah, serta bisa mendapatkan pasokan air
bersih. Mereka memperoleh pelayanan atau perawatan kesehatan yang
canggih dan bisa menikmati kebudayaan. Sementara, mayoritas-berlimpah
yang sengsara mengadakan perjalanan dalam kondisi seperti pada zaman
perdagangan budak (yang mengenaskan) dari Afrika ke Amerika di zaman
kolonial pada masa yang lalu. Sebagian besar penumpang kapal tersebut,
yakni sekitar 85 %, berada dalam kabin yang penuh sesak dan kotor,
kelaparan, penyakitan dan tak ada yang menolong” (Pidato Fidel
Castro, yang berjudul “Globalisasi Neoliberal dan Dunia Ketiga”, dalam
Jurnal Kiri volume 3 Oktober 2000, Hal, 130-145).
Oleh
karena itu, supaya neoliberalisme dan anteknya tidak lagi mengangkangi
negeri ini, maka rakyat Indonesia jangan mau percaya lagi pada elit
borjuis, yang pada kenyataannya hanya menjadi budak neoliberal yang
patuh. Rakyat sendirilah yang harus mengambil alih kekuasaan politik di
negeri ini dan mengusir neoliberalisme dan para anteknya dari negeri
ini.
*)Penulis merupakan dosen Etika Politik Universitas 17 Agustus 1945, Jakarta
http://tikusmerah.com/?p=1214
Tidak ada komentar:
Posting Komentar