Kamis, 17 April 2014

Neoliberalisme dan Jokowi

Oleh: Harsa Permata
Sebenarnya persoalan penguasa Indonesia dan neoliberalisme ini sudah teramat sering diangkat dalam berbagai tulisan. Hanya saja dalam realitas politik dan ekonomi Indonesia, kepentingan neoliberalisme masih saja cukup dominan. Walaupun kemudian ada individu atau kelompok yang menyerang individu atau kelompok lainnya secara politik dengan menggunakan isu neoliberalisme, semua hanya sebatas kampanye hitam untuk saling menjatuhkan secara politik.

Hal ini pernah terjadi pada tahun 2009, ketika cawapres SBY, yaitu Boediono diserang oleh lawan-lawan politiknya dengan isu ini. Ia juga dikatakan mewakili kepentingan neoliberal di Indonesia.
Walaupun pada kenyataannya memang, selama kebijakan-kebijakan politik pemerintahan SBY-Boediono tunduk pada kepentingan neoliberal. Hal yang jelas-jelas kelihatan sebagai perwujudan kepentingan neoliberal pada pemerintahan SBY-Boediono, adalah kebijakan kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), yang merupakan konsekuensi dari kepatuhan Indonesia pada resep ekonomi ala IMF (International Monetary Fund), yaitu pencabutan subsidi-subsidi rakyat, seperti BBM, listrik, telpon, pendidikan, dan lain-lain.
Tapi persoalannya kemudian, para lawan politik SBY-Boediono pun ketika itu sebenarnya setali tiga uang. Mengapa demikian? Yang pertama adalah kubu Megawati yang diusung PDIP, ketika yang bersangkutan berkuasa, harga BBM juga dinaikkan. Bahkan rezim Megawati tercatat menaikkan harga BBM, listrik, dan telepon secara serentak pada tahun 2002.
Yang kedua adalah kubu Jusuf Kalla, yang ketika itu dicapreskan oleh Partai Golkar. Selama 5 tahun berkuasa, rezim SBY-JK telah menaikkan harga BBM sebanyak 3 kali. Puncaknya pada tahun 2008, kenaikan harga BBM diikuti oleh aksi penolakan yang luas dan diwarnai kerusuhan.
Oleh karena itu, pada masa pilpres (pemilihan presiden) 2009, isu neoliberalisme yang disuarakan para politisi, tak lebih dari sekedar maling teriak maling (meminjam satu baris lirik lagu Sumbang, Iwan Fals).
Maling teriak maling
Sembunyi balik dinding
Pengecut lari terkencing-kencing
Kembali pada tahun 2014, pasca pemilu legislatif, sikap menghamba pada neoliberalisme ini dipertontonkan secara gamblang oleh PDIP dan Jokowi. Menggelikan memang, entah karena kedunguan politik, atau memang karena ketidakrapian struktur organisasi, sehingga sikap kolaborator ini bisa terbongkar ke media.
Walaupun dikatakan hal ini sebagai konflik kepentingan kubu fundamentalis Katolik dan Kristen, seperti pendapat M. Sembodo di website tikusmerah, sebenarnya ini bukanlah persoalan pertarungan antar faksi berbasis agama, yang mendukung Jokowi. Akan tetapi hal ini adalah cerminan kontradiksi antar kapitalis untuk berebut kekuasaan di Indonesia. Kapitalis yang bagaimana? Yaitu kapitalis/pemilik modal yang lepas dari sekat-sekat negara, yang dalam bahasa Bung Karno (Bapak biologisnya Megawati ketum PDIP, bukan Bapak Ideologisnya), disebut sebagai nekolim (neo kolonialisme dan imperialisme). Kaum kiri pada masa kini, menyebut nekolim ini neoliberalisme.
Apa itu neoliberalisme? Sebenarnya sudah banyak yang menjelaskan ini, tetapi tidak ada salahnya kalau hal ini diulang kembali, karena ternyata banyak yang tidak paham apa sebenarnya neoliberalisme itu.
Baiklah, untuk memudahkan pemahaman, saya jelaskan secara sederhana, neoliberalisme ini. Neoliberalisme ini sebenarnya adalah suatu metamorfosa dari liberalisme ekonomi yang digagas oleh Adam Smith, seorang pemikir Inggris. Liberalisme ekonomi ala Adam Smith ini menginginkan kebebasan dalam ranah perekonomian. Kebebasan untuk menghisap hasil kerja kaum buruh, dan kebebasan untuk memperdagangkan hasil kerja buruh, tanpa campur tangan negara.
Krisis, yang merupakan takdir sejarah, sistem ekonomi kapitalis, membuat liberalisme ekonomi ala Adam Smith ini harus menyesuaikan diri. Perubahan demi perubahan pola dilakukan. Walaupun berubah, esensinya tetap sama, merampok hasil kerja kaum buruh, yang kalau kata Bung Jenggot (Karl Marx) adalah nilai lebih.
Nilai lebih adalah selisih dari biaya produksi (termasuk di dalamnya upah buruh) dan harga jual produk yang dihasilkan buruh. Contohnya kalau seorang buruh pabrik rokok, perhari dia bisa menghasilkan 1000 batang rokok yang harga perbatangnya adalah 750-1000 rupiah. Total yang dihasilkannya sehari adalah senilai 750 ribu – 1 juta rupiah. Sementara gaji bulanannya paling tinggi, sesuai UMR DKI Jakarta dan Bekasi hanyalah sekitar 2,4 – 2,9 juta rupiah. Perharinya jika dibagi, si buruh ini hanya dapat 100-135 ribu rupiah. Hal ini jika dibandingkan dengan UMR Jateng-DIY lebih mengenaskan lagi. UMR Jateng-DIY, kisarannya hanya sekitar 1 sampai 1,5 juta perbulan, dengan ini buruh hanya dapat sekitar 45-70 ribu perharinya. Berapa selisihnya? Silahkan hitung sendiri. Selisihnya itu adalah nilai lebih yang dirampok oleh pemilik modal dari kaum buruh.
Liberalisme maupun neoliberalisme ingin aksi perampokan ini bebas, tanpa campur tangan negara. Pada masa sekarang dalam sistem neoliberalisme, para borjuis (pemilik modal/kapitalis), bahkan bebas merampok hasil kerja buruh di negara lain, dan kemudian memperdagangkan hasil kerja buruh di negara lain tersebut ke negara lainnya. Perusahaan seperti Apple dan Blackberry bahkan bisa dengan bebas merampok hasil kerja kaum buruh Tiongkok, dan memperjualbelikan hasil kerja buruh Tiongkok tersebut pada buruh Indonesia, yang mereka rampok juga lewat pabrik lainnya. Begitulah neoliberalisme, yang berkuasa adalah modal.
Terkait Jokowi, dia sendiri secara kelas juga borjuis (pemilik modal), dia tercatat sebagai pengusaha mebel ekspor (dijual ke luar negeri). Jokowi ini didukung oleh borjuis lainnya, yang kelihatan adalah Lippo Group dan lingkaran CSIS, kumpulan intelektual dan borjuis penyokong orba (orde baru).
Terakhir dua kubu ini saling bersaing berebut pengaruh atas PDIP dan Jokowi dengan serangkaian manuver. Lippo Group dan lingkaran CSIS ini sebenarnya sama-sama neoliberal juga. Lippo Group ini terkenal dengan aksi “kedermawanannya” terhadap Amerika Serikat. Mereka pernah jadi donatur partai demokratnya A.S, dan Berkeley University, universitas penghasil mafia perekonomian, yang banyak menjadi ekonom orba. Resep-resep merekalah yang membuat Indonesia dirampok habis-habisan oleh imperialisme (neoliberalisme). Guru besar mafia berkeley ini adalah Soemitro Djojohadikusumo, yang merupakan ayah dari mantan Danjen Kopassus, Prabowo Subianto, yang sekarang jadi capres Partai Gerindra.
Sementara CSIS, adalah konsultan politiknya orde baru, organisasi ini didirikan oleh Ali Moertopo, militer lingkaran dalam orba, yang merupakan orang dekat Soeharto, penguasa orba.
Model liberalisasi politik semu, yang otoriter dan anti komunis, yang menjadi ciri utama orba, merupakan sumbangsih pemikiran lingkaran CSIS ini. Sikap liberalisasi politik semu yang anti komunis ini serupa dengan sikap politik pemerintah Amerika Serikat. Ini bisa dilihat dari film-film propaganda yang diproduksi oleh perusahaan film Amerika Serikat, Hollywood.
Persaingan antara kubu Lippo Group dan CSIS ini sebenarnya bukanlah karena persoalan keagamaan. Walaupun agama yang dominan dalam kelompok mereka berbeda, kepentingan utamanya tetap kepentingan modal tadi. Kepentingan untuk merampok sebebas-bebasnya nilai lebih kaum buruh.
Jika kemudian Jokowi terlihat dengan gamblang bergandengan tangan dengan kedua kubu ini, maka sudah bisa dipastikan bahwa Jokowi adalah orang yang dipercaya oleh kedua kubu yang sama-sama neolib ini untuk memperlancar perampokan mereka terhadap nilai lebih kaum buruh Indonesia. Dengan kata lain, Jokowi merupakan antek imperialis, yang mereka butuhkan untuk semakin dalam menghunjamkan kuku mereka di Indonesia.
Oleh karena itu, bisa disimpulkan bahwa citra nasionalis yang dibangun oleh PDIP dan Jokowi hanyalah omong kosong belaka.
Terakhir, saya ingin mengutip pidato Fidel Castro tentang neoliberalisme, dalam sebuah forum yang juga dihadiri oleh almarhum Gusdur, neoliberalisme menurut Castro adalah,
Suatu realitas obyektif yang bisa lebih memperjelas fakta bahwa kita sebenarnya merupakan penumpang dalam satu kapal yang sama, yakni, bumi tempat kita hidup. Tapi, para penumpang kapal tersebut mengadakan perjalanannya dengan kondisi-kondisi yang sangat berbeda. Minoritas-kecil mengadakan perjalanan di kabin yang sangat mewah, dilengkapi fasilitas internet, telepon selular, dan memiliki akses ke jaringan-jaringan komunikasi global. Mereka bisa menikmati makanan yang bergizi, sehat, dan berlimpah, serta bisa mendapatkan pasokan air bersih. Mereka memperoleh pelayanan atau perawatan kesehatan yang canggih dan bisa menikmati kebudayaan. Sementara, mayoritas-berlimpah yang sengsara mengadakan perjalanan dalam kondisi seperti pada zaman perdagangan budak (yang mengenaskan) dari Afrika ke Amerika di zaman kolonial pada masa yang lalu. Sebagian besar penumpang kapal tersebut, yakni sekitar 85 %, berada dalam kabin yang penuh sesak dan kotor, kelaparan, penyakitan dan tak ada yang menolong” (Pidato Fidel Castro, yang berjudul “Globalisasi Neoliberal dan Dunia Ketiga”, dalam Jurnal Kiri volume 3 Oktober 2000, Hal, 130-145).
Oleh karena itu, supaya neoliberalisme dan anteknya tidak lagi mengangkangi negeri ini, maka rakyat Indonesia jangan mau percaya lagi pada elit borjuis, yang pada kenyataannya hanya menjadi budak neoliberal yang patuh. Rakyat sendirilah yang harus mengambil alih kekuasaan politik di negeri ini dan mengusir neoliberalisme dan para anteknya dari negeri ini.

*)Penulis merupakan dosen Etika Politik Universitas 17 Agustus 1945, Jakarta
http://tikusmerah.com/?p=1214

Tidak ada komentar:

Posting Komentar