Pernahkah sabahat mempunyai keinginan untuk berbuat kebaikan setelah kaya? atau setelah perusahaannya besar nanti? atau setelah umur 40, 50 dan seterusnya? Jujur, saya pernah berpikir demikian, nanti ketika saya sudah umur 30 atau 40 atau ketika saya sudah punya perusahaan besar, nanti saya baru akan berkontribusi berkuat kebaikan kepada orang lain. Pemikiran seperti itu, sepertinya sangat umum terjadi. Namun, apakah kita tahu bahwa besok standar cita cita kita itu akan terwujud? ah, belum tentu juga. Siapa yang tahu umur kita besok, minggu depan masih ada? Siapa yang bisa menjamin? tidak ada!.
Berikut, saya copykan salah satu kisah sahabat yang semoga bisa menjadi inspirasi, bahwa sekecil apapun, dan dalam kondisi kita, maka kita bisa berbuat kebaikan dan tidak perlu menunggu sukses terbelih dahulu..
Beliau seorang wanita yang berkulit hitam, dipanggil dengan nama Ummu Mahjan. Telah disebutkan di dalam Ash-Shahih tanpa menyebutkan nama aslinya, bahwa beliau tinggal di Madinah [Ibnu Sa’ad dalam ath-Thabaqat (VIII/414)].
Beliau Radhiyallahu ‘anha seorang wanita miskin yang memiliki tubuh yang lemah. Untuk itu beliau tidak luput dari perhatian Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam
sang pemimpin, sebab beliau senantiasa mengunjungi orang-orang miskin
dan menanyai keadaan mereka dan memberi makanan kepada mereka, maka
tidakkah anda tahu akan hal ini wahai para pemimpin rakyat?
Beliau Radhiyallahu ‘anha menyadari bahwa dirinya memiliki
kewajiban terhadap akidahnya dan masyarakat Islam. Lantas apa yang bisa
dia laksanakan padahal beliau adalah seorang wanita yang tua dan
lemah? Akan tetapi beliau sedikitpun tidak bimbang dan ragu, dan tidak
menyisakan sedikitpun rasa putus asa dalam hatinya. Dan putus asa
adalah jalan yang tidak dikenal di hati orang-orang yang beriman.
Begitulah, keimanan beliau telah menunjukkan kepadanya untuk
menunaikan tanggung jawabnya. Maka beliau senantiasa membersihkan
kotoran dan dedaunan dari masjid dengan menyapu dan membuangnya ke
tempat sampah. Beliau senantiasa menjaga kebersihan rumah Allah, sebab
masjid memiliki peran yang sangat urgen di dalam Islam. Di sanalah
berkumpulnya para pahlawan dan para ulama’. Masjid, ibarat parlemen
yang sebanyak lima kali sehari digunakan sebagai wahana untuk
bermusyawarah, saling memahami dan saling mencintai, sebagaimana pula
masjid adalah universitas tarbiyah amaliyah yang mendasar dalam membina
umat.
Begitulah fungsi masjid pada zaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam, demikian pulalah yang terjadi pada zaman khulafa‘ur rasyidin dan begitu pula seharusnya peranan masjid hari ini hingga tegaknya hari kiamat.
Untuk itulah Ummu Mahjan Radhiyallahu ‘anha tidak kendor
semangatnya, sebab pekerjaan itu merupakan target yang dapat beliau
kerjakan. Beliau tidak pernah meremehkan pentingnya membersihkan
kotoran untuk membuat suasana yang nyaman bagi Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabat beliau dalam bermusyawarah yang senantiasa mereka kerjakan secara rutin.
Ummu Mahjan Radhiyallahu ‘anha terus menerus menekuni pekerjaan tersebut hingga beliau wafat pada zaman Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam. Ketika ia wafat, para shahabat Ridhwanullahi ‘Alaihim membawa jenazahnya setelah malam menjelang dan mereka mendapati Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam masih tertidur. Mereka pun tidak ingin membangunkan beliau, sehingga mereka langsung menshalatkan dan menguburkannya di Baqi‘ul Gharqad.
Pagi harinya Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam merasa
kehilangan wanita itu, kemudian beliau tanyakan kepada para sahabat,
mereka menjawab, “Beliau telah dikubur wahai Rasulullah, kami telah
mendatangi anda dan kami dapatkan anda masih dalam keadaan tidur
sehingga kami tidak ingin membangunkan anda.” Maka beliau bersabda, “Marilah kita pergi!” Lantas bersama para shahabat, Rasulullah pergi menuju kubur Ummu Mahjan. Maka Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam berdiri, sementara para sahabat berdiri bershaf-shaf di belakang beliau, lantas Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam menshalatkannya dan bertakbir empat kali [lihat al-Ishabah dalam Tamyizish Shahabah (VIII/187)]
Sebuah riwayat dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, bahwa ada seorang wanita yang berkulit hitam yang biasanya membersihkan masjid, suatu ketika Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam merasa kehilangan dia, lantas beliau bertanya tentangnya. Mereka telah berkata, “Dia telah wafat.” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Mengapa kalian tidak memberitahukan hal itu kepadaku?” Abu Hurairah berkata, “Seolah-olah mereka menganggap bahwa kematian Ummu Mahjan itu adalah hal yang sepele.” Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Tunjukkan kepadaku di mana kuburnya!” Maka mereka menunjukkan kuburnya kepada Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa sallam kemudian beliau menyalatkannya, lalu bersabda:
إِنَّ هٰذِهِ الْقُبُورَ مَمْلُوءَةٌ ظُلْمَةٌ عَلَى أَهْلِهَا، وَإِنَّ اللّٰهَ يُنَوِّرُهَا لَهُمْ بِصَلاَتِي عَلَيْهِمْ
“Sesungguhnya kubur ini terisi dengan kegelapan atas penghuninya dan Allah meneranginya bagi mereka karena aku telah menyalatkannya.” [Lihat al-Ishabah (VIII/187), al-Muwatha’ (I/227), an-Nasa’i (I/9) hadits tersebut mursal, akan tetapi maknanya sesuai dengan hadits yang setelahnya yang bersambung dengan riwayat al-Bukhari dan Muslim.]http://kisahmuslim.com/pelajaran-yang-tak-terlupakan-dari-kisah-ummu-mahjan/

Tidak ada komentar:
Posting Komentar