Rabu, 06 November 2013

Kualitas DOC dan Pola Kematian Awal



Cukup banyak sudah hal-hal yang berhubungan dengan kualitas DOC (anak ayam umur sehari) dibahas oleh para ahli maupun praktisi perunggasan.  Tulisan ini memuat pengalaman seorang praktisi lapang yang sudah makan “asam garam” pemeliharaan ayam broiler lebih dari duapuluh tahun. 
Di lapangan tidak jarang dijumpai terjadinya silang pendapat antara para peternak komersil dengan perusahaan pembibitan, baik itu mengenai bobot badan, kondisi, maupun kematian DOC yang relatif tinggi pada saat peternak menerimanya di lokasi peternakan broiler.  Sebelum mencari pemecahan pendapat tersebut, ada baiknya persepsi mengenai kualitas DOC disamakan terlebih dahulu.   

 
Seekor DOC dikatakan mempunyai kualitas yang cukup baik jika:
a.       Sikapnya lincah, responsif, dan warna bulunya tidak kusam.  Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa keadaan fisiologis tubuh DOC tersebut secara umum cukup baik, sehingga selanjutnya dapat berkembang dengan baik.  Bulu yang tidak kusam dapat menggambarkan perkembangan fase embrional DOC tersebut berlangsung dengan baik.
b.       Besarnya relatif seragam (uniform).   Inkubasi telur tetas yang mempunyai bobot yang berbeda cukup jauh akan menghasilkan DOC dengan bobot yang tidak seragam.  Seperti kita ketahui bersama, bahwa bobot DOC yang diperoleh adalah 68-70% dari bobot telur tetas pada saat dimasukkan ke alat penetas (setter) dan perbedaan bobot telur tetas akan mengakibatkan perbedaan waktu tetas (hatch time) yang cukup nyata.  Perbedaan waktu tetas yang cukup lama akan mengakibatkan sebagian DOC akan mengalami stres yang hebat ataupun dehidrasi di dalam alat penetas (inkubator).
c.       Pusarnya kering dan tertutup dengan baik.  Jika kondisi DOC cukup baik, maka tali pusar pasti kering dan rontok hanya dalam tempo beberapa menit setelah menetas.  Akan tetapi jika terjadi infeksi pada tali pusar atau terjadi kesalahan dalam pengaturan temperatur dan kelembaban di dalam mesin penetas, maka pusar DOC tersebut tidak menutup sempurna, atau bahkan sisa tali pusarnya akan tetap menggantung.  Kondisi demikian ini jelas mempermudah terjadinya infeksi oleh kuman-kuman lingkungan/kontaminan.
d.       Tidak ada cacat fisik ataupun mengalami abnormalitas fisik.  Cacat secara fisik akan mengakibatkan pertumbuhan selanjutnya tidak akan berjalan dengan baik.  Cacat fisik mungkin juga menggambarkan adanya gangguan pada kualitas telur tetas yang dihasilkan.  Dalam kondisi induk yang mengalami kekurangan biotin misalnya, akan menghasilkan DOC yang mengalami cacat-cacat fisik yang disertai dengan kematian yang relatif tinggi pada minggu pertama.
e.       Bereaksi normal dengan vaksin aktif yang diberikan.  Kondisi tubuh yang prima akan memberikan respon yang cukup baik terhadap cekaman yang diterima oleh DOC.  Reaksi terhadap cekaman yang berlarut-larut akan menurunkan daya tahan tubuh ayam, sehingga dengan mudah akan terjadi infeksi sekunder.
f.        Cepat beradaptasi dengan perubahan-perubahan lingkungan yang minor.  Penjelasan butir ini hampir sama dengan penjelasan butir e tersebut di atas.
g.       Mempunyai sisik kaki yang berwarna kuning cerah dan tidak kering.  Gambaran ini juga menunjukkan perkembangan embrional DOC berlangsung cukup baik, sehingga diharapkan pertumbuhan selanjutnyapun dapat berjalan baik.
Dengan penjelasan tersebut di atas, maka DOC yang berkualitas baik diharapkan akan mempunyai:
                -   kemampuan hidup yang tinggi.
- lebih toleran terhadap perubahan-perubahan lingkungan/kondisi di sekitarnya.
-   secara keseluruhan menunjukkan laju pertumbuhan yang baik.
                -   reaksi terhadap vaksin sangat ringan.
-   jumlah afkir selama pemeliharaan akan sangat kecil.
Sebenarnya, untuk mengetahui kualitas DOC, kita tidak hanya mengamati keadaan DOC itu sendiri, akan tetapi ada beberapa indikator yang biasa digunakan oleh para peternak, yaitu:
a.       Mortalitas/kematian, terutama sampai dengan minggu pertama setelah menetas.
b.      Keseragaman bobot, sangat dianjurkan di atas 70%.
c.       Mempunyai zat kebal dari induk yang cukup, terutama terhadap ND, IB, IBD, dan AE.
d.      Tidak mengandung bibit penyakit yang ditularkan secara vertikal, misalnya kuman Salmonella pullorum dan Mycoplasma.
Pada kesempatan ini penulis mencoba membahas hal-hal yang berhubungan dengan kematian awal anak ayam, terutama pada ayam broiler komersil pada minggu-minggu pertama dan kedua.
Pada gambar pertama terlihat besarnya kematian/mortalitas normal ayam broiler dari minggu pertama sampai dengan minggu ke tujuh.  Gambaran ini berasal dari hasil pengamatan lapangan bertahun-tahun terhadap operasinal peternakan broiler di Amerika.  Dari pengamatan penulis di lapangan, ternyata gambaran tersebut tidak berbeda jauh dengan gambaran kematian normal rata-rata pada peternakan broiler di Indonesia.  Akan tetapi, sebagian peternak masih dapat memberikan toleransi kematian sampai dengan minggu kedua sebesar 2%.
Pada gambar kedua terlihat pola kematian normal ayam dari hari ke hari sampai dengan hari ke 14.   Yang jelas, total kematian kumulatif tidak lebih dari 2%.  Kematian relatif tinggi pada hari pertama sampai hari ke tiga dan beberapa hari setelah pemberian vaksin ND/IB aktif pada hari 4 atau 5.  Terlihat di dalam gambar tersebut, bahwa ayam akan memberikan respon yang ringan terhadap faktor stres (misalnya transportasi) dan juga terhadap vaksinasi.   Jangan lupa, perhatikan pola kematiannya.
Pada gambar ke tiga terlihat pola kematian yang disebabkan oleh kondisi dehidrasi.  Dan jangan lupa, pada kondisi seperti ini total kematian kumulatif jelas di atas 2%.  Pola kematian seperti ini dapat terjadi akibat:
a.       Kesalahan dalam pengaturan temperatur/kelembaban di mesin tetas, misalnya temperatur terlalu tinggi atau kelembaban yang terlalu rendah.  Tergantung pada tingkat keparahan kejadian, kadang kala kondisi dehidrasi yang terjadi di mesin tetas ini sudah dapat mengakibatkan kematian yang relatif tinggi mulai dari dari pertama.
b.       Kesalahan dalam transportasi.  Kondisi transportasi dengan ventilasi yang tidak baik dan juga dengan temperatur yang relatif tinggi dapat mengakibatkan ayam akan mengalami dehidrasi.  Pada kondisi inipun kematian yang relatif tinggi dapat terjadi mulai hari pertama.
c.       Terjadi infeksi pada ayam pada hari-hari awal hidupnya.  Infeksi oleh mikroorganisme tertentu akan mengakibatkan ayam mengalami demam.  Dalam kondisi demam, ayam selalu merasa kedinginan, pada hal temperatur tubuhnya relatif lebih tinggi dari normal.  Keadaan seperti ini akan mengakibatkan ayam akan berdiam di bawah pemanas dalam waktu yang relatif lama dan tidak akan makan/minum.   Kondisi dehidrasi secara otomatis akan terjadi.
d.       Kesalahan pada tata laksana induk buatan.  Kepadatan ayam yang terlalu tinggi dan temperatur induk buatan yang terlalu tinggi akan mengakibatkan kondisi dehidrasi dini.
e.       Ayam tidak mendapatkan suplai air minum yang cukup.  Hal ini bisa disebabkan oleh memang pemberian air minum yang kurang atau ayam kesulitan untuk mendapatkan air minum dikarenakan letak tempat air minum yang terlalu tinggi. Atau, temperatur air minum pada saat ayam ditebar di dalam induk buatan terlalu rendah (lebih kecil 200C).
Pada gambar keempat terlihat pola kematian ayam yang disebabkan oleh infeksi bakteri.  Pola kematian seperti ini biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri di area penetasan, termasuk kontaminasi dalam mesin tetas.  Seperti kita ketahui bahwa kuning telur yang masih ada pada DOC mempunyai akses langsung ke sistem sirkulasi darah.  Dengan demikian, jika bakteri berhasil masuk kedalam kuning telur yang tersisa, dalam tempo yang singkat akan terjadi kondisi bakterimia (kuman ikut beredar ke seluruh jaringan tubuh melalui sistem sirkulasi).  Manifestasi dari kejadian ini adalah kematian yang relatif tinggi pada hari-hari awal kehidupan ayam yang terinfeksi.  Dengan kata lain, ayam yang terinfeksi dengan cepat akan mati, sedangkan yang tidak terinfeksi akan tetap hidup.  Dan total kematian sampai minggu kedua jelas akan lebih besar dari 2%. 
Sedangkan gambar kelima menunjukkan pola kematian ayam yang disebabkan oleh infeksi bakteri di lingkungan peternakan komersil itu sendiri.  Karena bakterinya berasal dari lingkungan peternakan tersebut, maka tantangan kuman/bakteri terhadap ayam yang ada berlangsung dari waktu ke waktu secara terus menerus.   Kematian ayam akan jauh lebih besar dari 2%.
Di atas telah disebutkan, bahwa ayam yang berkualitas baik akan memberikan respon yang ringan terhadap vaksin aktif.  Akan tetapi, apabila vaksin yang diberikan terlalu keras, ayam akan menunjukkan manifestasi kematian yang relatif lebih tinggi dari normal segera setelah pemberian vaksin aktif.  Hal ini bisa dilihat pada pola kematian ayam pada gambar keenam.  Pada hari kesatu sampai hari pemberian vaksin aktif kematian ayam berjalan normal, akan tetapi, sehari atau dua hari setelah pemberian vaksin, kematian akan meloncat secara tiba-tiba.

Pola kematian seperti pada gambar tujuh relatif agak jarang.  Kejadian seperti ini bisa terjadi bila vaksin yang diberikan betul-betul keras.  Pada beberapa kejadian, kondisi seperti ini mirip kejadian “rolling reaction” setelah pemberian vaksin IB aktif.
Yang jelas, kalau kita melihat kembali ke klasifikasi hewan yang bertulang belakang (vertebrata), maka dengan mudah kita akan mendapatkan bahwa kelas Aves (bangsa burung, dan ayam termasuk dalam kelas ini) adalah suatu kelas peralihan antara hewan berdarah dingin (temperatur tubuh sangat tergantung pada temperatur lingkungan) dalam hal ini adalah kelas Reptilia dengan hewan yang berdarah panas (temperatur tubuh tetap, tidak tergantung pada temperatur lingkungan) dalam hal ini adalah Mamalia.  Oleh karena itu, anak-anak bangsa Aves sangat peka sekali dengan perubahan temperatur lingkungan pada hari-hari awal kehidupannya, karena termoregulatornya belum berfungsi secara optimal.  Jadi, kecerobohan tata laksana induk buatan/brooder akan mengakibatkan anak ayam akan mengalami stres yang luar biasa, atau bahkan akan mengakibatkan kematian yang relatif tinggi, setara dengan derajat stres/cekaman yang ada.   

Tidak ada komentar:

Posting Komentar