Cukup banyak
sudah hal-hal yang berhubungan dengan kualitas DOC (anak ayam umur sehari)
dibahas oleh para ahli maupun praktisi perunggasan. Tulisan ini memuat pengalaman seorang
praktisi lapang yang sudah makan “asam garam” pemeliharaan ayam broiler lebih
dari duapuluh tahun.
Di lapangan
tidak jarang dijumpai terjadinya silang pendapat antara para peternak komersil
dengan perusahaan pembibitan, baik itu mengenai bobot badan, kondisi, maupun
kematian DOC yang relatif tinggi pada saat peternak menerimanya di lokasi
peternakan broiler. Sebelum mencari
pemecahan pendapat tersebut, ada baiknya persepsi mengenai kualitas DOC
disamakan terlebih dahulu.
Seekor DOC
dikatakan mempunyai kualitas yang cukup baik jika:
a. Sikapnya
lincah, responsif, dan warna bulunya tidak kusam. Kondisi seperti ini menunjukkan bahwa keadaan
fisiologis tubuh DOC tersebut secara umum cukup baik, sehingga selanjutnya
dapat berkembang dengan baik. Bulu yang
tidak kusam dapat menggambarkan perkembangan fase embrional DOC tersebut
berlangsung dengan baik.
b. Besarnya
relatif seragam (uniform). Inkubasi
telur tetas yang mempunyai bobot yang berbeda cukup jauh akan menghasilkan DOC
dengan bobot yang tidak seragam. Seperti
kita ketahui bersama, bahwa bobot DOC yang diperoleh adalah 68-70% dari bobot
telur tetas pada saat dimasukkan ke alat penetas (setter) dan perbedaan bobot
telur tetas akan mengakibatkan perbedaan waktu tetas (hatch time) yang cukup
nyata. Perbedaan waktu tetas yang cukup
lama akan mengakibatkan sebagian DOC akan mengalami stres yang hebat ataupun
dehidrasi di dalam alat penetas (inkubator).
c. Pusarnya
kering dan tertutup dengan baik. Jika
kondisi DOC cukup baik, maka tali pusar pasti kering dan rontok hanya dalam
tempo beberapa menit setelah menetas.
Akan tetapi jika terjadi infeksi pada tali pusar atau terjadi kesalahan
dalam pengaturan temperatur dan kelembaban di dalam mesin penetas, maka pusar
DOC tersebut tidak menutup sempurna, atau bahkan sisa tali pusarnya akan tetap
menggantung. Kondisi demikian ini jelas
mempermudah terjadinya infeksi oleh kuman-kuman lingkungan/kontaminan.
d. Tidak ada
cacat fisik ataupun mengalami abnormalitas fisik. Cacat secara fisik akan mengakibatkan
pertumbuhan selanjutnya tidak akan berjalan dengan baik. Cacat fisik mungkin juga menggambarkan adanya
gangguan pada kualitas telur tetas yang dihasilkan. Dalam kondisi induk yang mengalami kekurangan
biotin misalnya, akan menghasilkan DOC yang mengalami cacat-cacat fisik yang
disertai dengan kematian yang relatif tinggi pada minggu pertama.
e. Bereaksi
normal dengan vaksin aktif yang diberikan.
Kondisi tubuh yang prima akan memberikan respon yang cukup baik terhadap
cekaman yang diterima oleh DOC. Reaksi
terhadap cekaman yang berlarut-larut akan menurunkan daya tahan tubuh ayam,
sehingga dengan mudah akan terjadi infeksi sekunder.
f.
Cepat beradaptasi dengan perubahan-perubahan
lingkungan yang minor. Penjelasan butir
ini hampir sama dengan penjelasan butir e tersebut di atas.
g. Mempunyai
sisik kaki yang berwarna kuning cerah dan tidak kering. Gambaran ini juga menunjukkan perkembangan
embrional DOC berlangsung cukup baik, sehingga diharapkan pertumbuhan
selanjutnyapun dapat berjalan baik.
Dengan penjelasan tersebut di atas, maka DOC yang berkualitas baik
diharapkan akan mempunyai:
- kemampuan hidup yang tinggi.
- lebih
toleran terhadap perubahan-perubahan lingkungan/kondisi di sekitarnya.
- secara keseluruhan menunjukkan laju
pertumbuhan yang baik.
- reaksi terhadap vaksin sangat ringan.
- jumlah afkir selama pemeliharaan akan sangat
kecil.
Sebenarnya,
untuk mengetahui kualitas DOC, kita tidak hanya mengamati keadaan DOC itu
sendiri, akan tetapi ada beberapa indikator yang biasa digunakan oleh para
peternak, yaitu:
a.
Mortalitas/kematian, terutama sampai dengan
minggu pertama setelah menetas.
b.
Keseragaman bobot, sangat dianjurkan di atas
70%.
c.
Mempunyai zat kebal dari induk yang cukup,
terutama terhadap ND, IB, IBD, dan AE.
d.
Tidak mengandung bibit penyakit yang ditularkan
secara vertikal, misalnya kuman Salmonella pullorum dan
Mycoplasma.
Pada
kesempatan ini penulis mencoba membahas hal-hal yang berhubungan dengan
kematian awal anak ayam, terutama pada ayam broiler komersil pada minggu-minggu
pertama dan kedua.
Pada gambar
pertama terlihat besarnya kematian/mortalitas normal ayam broiler dari minggu
pertama sampai dengan minggu ke tujuh.
Gambaran ini berasal dari hasil pengamatan lapangan bertahun-tahun
terhadap operasinal peternakan broiler di Amerika. Dari pengamatan penulis di lapangan, ternyata
gambaran tersebut tidak berbeda jauh dengan gambaran kematian normal rata-rata
pada peternakan broiler di Indonesia.
Akan tetapi, sebagian peternak masih dapat memberikan toleransi kematian
sampai dengan minggu kedua sebesar 2%.
Pada gambar
kedua terlihat pola kematian normal ayam dari hari ke hari sampai dengan hari
ke 14. Yang jelas, total kematian
kumulatif tidak lebih dari 2%. Kematian
relatif tinggi pada hari pertama sampai hari ke tiga dan beberapa hari setelah
pemberian vaksin ND/IB aktif pada hari 4 atau 5. Terlihat di dalam gambar tersebut, bahwa ayam
akan memberikan respon yang ringan terhadap faktor stres (misalnya
transportasi) dan juga terhadap vaksinasi.
Jangan lupa, perhatikan pola kematiannya.
Pada gambar
ke tiga terlihat pola kematian yang disebabkan oleh kondisi dehidrasi. Dan jangan lupa, pada kondisi seperti ini
total kematian kumulatif jelas di atas 2%.
Pola kematian seperti ini dapat terjadi akibat:
a. Kesalahan
dalam pengaturan temperatur/kelembaban di mesin tetas, misalnya temperatur
terlalu tinggi atau kelembaban yang terlalu rendah. Tergantung pada tingkat keparahan kejadian,
kadang kala kondisi dehidrasi yang terjadi di mesin tetas ini sudah dapat mengakibatkan
kematian yang relatif tinggi mulai dari dari pertama.
b. Kesalahan
dalam transportasi. Kondisi transportasi
dengan ventilasi yang tidak baik dan juga dengan temperatur yang relatif tinggi
dapat mengakibatkan ayam akan mengalami dehidrasi. Pada kondisi inipun kematian yang relatif
tinggi dapat terjadi mulai hari pertama.
c. Terjadi
infeksi pada ayam pada hari-hari awal hidupnya.
Infeksi oleh mikroorganisme tertentu akan mengakibatkan ayam mengalami
demam. Dalam kondisi demam, ayam selalu
merasa kedinginan, pada hal temperatur tubuhnya relatif lebih tinggi dari
normal. Keadaan seperti ini akan
mengakibatkan ayam akan berdiam di bawah pemanas dalam waktu yang relatif lama
dan tidak akan makan/minum. Kondisi
dehidrasi secara otomatis akan terjadi.
d. Kesalahan
pada tata laksana induk buatan. Kepadatan
ayam yang terlalu tinggi dan temperatur induk buatan yang terlalu tinggi akan
mengakibatkan kondisi dehidrasi dini.
e. Ayam tidak
mendapatkan suplai air minum yang cukup.
Hal ini bisa disebabkan oleh memang pemberian air minum yang kurang atau
ayam kesulitan untuk mendapatkan air minum dikarenakan letak tempat air minum
yang terlalu tinggi. Atau, temperatur air minum pada saat ayam ditebar di dalam
induk buatan terlalu rendah (lebih kecil 200C).
Pada gambar
keempat terlihat pola kematian ayam yang disebabkan oleh infeksi bakteri. Pola kematian seperti ini biasanya disebabkan
oleh infeksi bakteri di area penetasan, termasuk kontaminasi dalam mesin
tetas. Seperti kita ketahui bahwa kuning
telur yang masih ada pada DOC mempunyai akses langsung ke sistem sirkulasi
darah. Dengan demikian, jika bakteri
berhasil masuk kedalam kuning telur yang tersisa, dalam tempo yang singkat akan
terjadi kondisi bakterimia (kuman ikut beredar ke seluruh jaringan tubuh
melalui sistem sirkulasi). Manifestasi
dari kejadian ini adalah kematian yang relatif tinggi pada hari-hari awal
kehidupan ayam yang terinfeksi. Dengan
kata lain, ayam yang terinfeksi dengan cepat akan mati, sedangkan yang tidak
terinfeksi akan tetap hidup. Dan total
kematian sampai minggu kedua jelas akan lebih besar dari 2%.
Sedangkan
gambar kelima menunjukkan pola kematian ayam yang disebabkan oleh infeksi
bakteri di lingkungan peternakan komersil itu sendiri. Karena bakterinya berasal dari lingkungan
peternakan tersebut, maka tantangan kuman/bakteri terhadap ayam yang ada
berlangsung dari waktu ke waktu secara terus menerus. Kematian ayam akan jauh lebih besar dari 2%.
Di atas
telah disebutkan, bahwa ayam yang berkualitas baik akan memberikan respon yang
ringan terhadap vaksin aktif. Akan
tetapi, apabila vaksin yang diberikan terlalu keras, ayam akan menunjukkan
manifestasi kematian yang relatif lebih tinggi dari normal segera setelah
pemberian vaksin aktif. Hal ini bisa
dilihat pada pola kematian ayam pada gambar keenam. Pada hari kesatu sampai hari pemberian vaksin
aktif kematian ayam berjalan normal, akan tetapi, sehari atau dua hari setelah
pemberian vaksin, kematian akan meloncat secara tiba-tiba.
Pola
kematian seperti pada gambar tujuh relatif agak jarang. Kejadian seperti ini bisa terjadi bila vaksin
yang diberikan betul-betul keras. Pada
beberapa kejadian, kondisi seperti ini mirip kejadian “rolling reaction”
setelah pemberian vaksin IB aktif.
Yang jelas,
kalau kita melihat kembali ke klasifikasi hewan yang bertulang belakang
(vertebrata), maka dengan mudah kita akan mendapatkan bahwa kelas Aves (bangsa
burung, dan ayam termasuk dalam kelas ini) adalah suatu kelas peralihan antara
hewan berdarah dingin (temperatur tubuh sangat tergantung pada temperatur
lingkungan) dalam hal ini adalah kelas Reptilia dengan hewan yang berdarah
panas (temperatur tubuh tetap, tidak tergantung pada temperatur lingkungan)
dalam hal ini adalah Mamalia. Oleh
karena itu, anak-anak bangsa Aves sangat peka sekali dengan perubahan
temperatur lingkungan pada hari-hari awal kehidupannya, karena
termoregulatornya belum berfungsi secara optimal. Jadi, kecerobohan tata laksana induk
buatan/brooder akan mengakibatkan anak ayam akan mengalami stres yang luar
biasa, atau bahkan akan mengakibatkan kematian yang relatif tinggi, setara
dengan derajat stres/cekaman yang ada.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar