Rabu, 06 November 2013

Koli sang Pecundang



Kasus Kolibasilosis pada peternakan ayam modern ibarat “naza” alias bahan adiktif.  Akrab dengan ayam broiler, karib dengan ayam petelur atau bahkan juga “intim” dengan ayam bibit.  Apakah benar ayam modern lebih peka terhadap kuman Koli?  Atau, apakah teknik pemeliharaan yang makin efisien secara tidak sengaja telah membuat kuman Koli menjadi “meraja-lela”?
                Adanya suatu peribahasa Latin kuno, “Inter faeces urinumque homo est natus” (artinya: manusia dilahirkan di antara feses dan urin), merupakan suatu kesadaran awal akan adanya kesamaan mikroflora komensal antara ibu dan anak.  Ketika Escherich (1885) berusaha mencari hubungan antara mikroflora feses bayi dengan kasus-kasus infeksi enterik, beliau menemukan Bacterium coli commune sebagai patogen pada usus bayi dan ibunya.  Belakangan, sebagai tanda penghargaan baginya, mikroba tersebut diberi nama Escherichia coli.

                Sejak penemuan Escherich tersebut, secara alamiah, peranan kuman Koli selalu menjadi perdebatan, apakah sebagai mikroba patogen atau mikroba komensal pada manusia dan hewan.  Baru pada tahun 1947, saat Kauffmann menemukan klasifikasi kuman Koli berdasarkan uji serologis, maka ekologi dan taksonomi kuman Koli menjadi lebih jelas.  Crichton dan Old (1992)  memberikan sumbangan tambahan pada klasifikasi tersebut ditinjau dari aspek “resistotyping”, pola kepekaan kuman Koli terhadap preparat antibiotika.
                Pada ayam, khususnya dalam saluran cerna, konsentrasi kuman Koli per-gram isi usus atau per-gram feses adalah di atas 105 partikel (Harry dan Hemsley, 1965).  Pada penelitian lanjut, juga dapat dibuktikan bahwa kandungan kuman Koli dalam per-gram debu kandang adalah sama, di atas 105 partikel.  Analisa lanjut dari penemuan Harry dan Hemsley (1965) yang dikombinasikan dengan taksonomi kuman Koli (menurut Crichton dan Old, 1992) dalam saluran cerna ayam seperti tertera dalam tabel terlampir.
Tabel 1:  Distribusi dan karakteristik kuman Koli dalam isi saluran cerna ayam

Tidak Patogenik
(mikroba komensal):
Patogenik
(mikroba patogen):
Kontribusi
Lebih dari 85% dari total kuman Koli per-gram isi saluran cerna (feses) ayam
Maksimum 15% dari total kuman Koli per-gram isi saluran cerna (feses) ayam
Kemampuan menghemolisa darah merah
Tidak, umumnya tergolong dalam non-beta hemolitik
Ya, mampu menghemolisa darah merah (beta hemolitik)
Sensitifitas terhadap preparat antibiotika
Sangat rendah, umumnya tidak terlalu peka terhadap preparat antibiotika
Mempunyai sensitifitas yang baik terhadap preparat antibiotika
Howe dkk. (1976) berhasil mencermati dinamika kuman Koli yang bersifat komensal pada ayam.  Sero-group O9, O83, dan O96 secara persisten ada di dalam saluran cerna ayam pada sepanjang hidupnya.  Sero-group O15, O18, dan O131 hanya ditemukan pada ayam-ayam muda dan akan menghilang begitu ayam sudah berumur lebih dari 6 minggu.  Sementara itu, sero-group O3, O8, O65, O70, O78, dan O114 hanya akan dijumpai pada ayam-ayam dewasa.  Belum diketahui secara rinci, mengapa terjadi dinamika yang begitu konsisten dari masing-masing sero-group kuman Koli komensal tersebut.  Yang jelas, penelitian Howe ini juga membuktikan bahwa sebagian besar kuman Koli komensal tidak sensitif terhadap berbagai preparat antibiotika.  Kondisi ini tentu saja menuntut suatu kehati-hatian yang tinggi pada saat melakukan uji sensitifitas suatu preparat antibiotika terhadap isolat lapang kuman Koli yang berasal dari isi saluran cerna (feses) atau bahan litter.
Selanjutnya, pada tahun 1993, Van den Bosch berhasil melakukan identifikasi tipe kuman Koli patogen pada ayam.  Ada tiga serotipe, yaitu: O1:K1, O2:K1, dan O78:K80.  Ketiganya dapat mengakibatkan Koli septisemia pada ayam, artinya problem kolibasilosis yang disertai dengan beredarnya kuman Koli melalui sistem sirkulasi darah ayam.  Ketiga serotipe kuman Koli pada ayam ini membutuhkan unsur besi (Fe) untuk perkembangbiakannya.  Oleh sebab itu, kasus-kasus Kolibasilosis pada ayam biasanya merupakan infeksi sekunder, segera setelah terjadi problem primer yang biasanya memberikan peluang kepada kuman Koli untuk melakukan perbanyakan sel dan invasi.
Serotipe kuman Koli pada sapi dan babi mempunyai umumnya antigen K88 (F4) atau K99 (F5), di mana reseptornya (D-mannose receptor) banyak sekali dijumpai pada permukaan usus sapi dan babi.  Berbeda dengan kuman Koli pada sapi dan babi,  ketiga serotipe pada ayam ini mempunyai antigen F11 dan mempunyai reseptor yang berbeda, dan reseptor tersebut tidak terdapat pada saluran cerna ayam.  Itulah sebabnya mengapa kasus-kasus Kolibasilosis pada sapi dan babi dapat menunjukkan gejala diare yang sangat hebat, bahkan sampai terjadi perdarahan dan kematian, sedangkan pada ayam, manifestasi pada saluran cerna tersebut bisa dikatakan sangat jarang terjadi.
Di dalam kandang ayam, khususnya pada litter, ternyata keberadaan kuman Koli tidak tersebar rata secara acak, akan tetapi hanya pada area dengan kondisi tertentu.  Populasi kuman Koli pada litter ternyata sangat tinggi pada area litter yang mempunyai nilai aktifitas air (Aw value) di atas 90 dan atau  kelembaban litter di atas 35% (Joseph dan Morales, 2000).  Kondisi ini ternyata merupakan kondisi yang nyaman buat kuman Koli untuk mempertahankan hidupnya, sekaligus melakukan multifikasi alias memperbanyak diri.  Oleh sebab itu, tindakan mengganti litter yang terlalu lembab dan memperbaiki sirkulasi udara di dalam kandang (kecepatan angin diharapkan >0,5 meter/detik) tentu saja akan mengurangi kasus-kasus kolibasilosis di lapangan.
Secara umum, kuman Koli bersifat fakultatif anaerob.  Dapat melakukan multifikasi dengan kelembaban lingkungan yang cukup dan ada oksigen.  Dalam kondisi anaerob, kuman Koli membutuhkan karbohidrat (misalnya glukosa) yang dapat difermentasi untuk kelangsungan hidupnya.  Sepintas, kondisi lingkungan yang nyaman buat kuman Koli ternyata sama dengan kondisi yang diinginkan oleh ayam yang dipelihara.  Oleh sebab itu, untuk mengurangi tingginya populasi kuman Koli di lingkungan ayam, maka beberapa langkah berikut dapat membantu, misalnya:
1.       Jaga litter jangan terlalu lembab.  Kadar air litter diharapkan sekitar 25-30%.
2.       Jaga ventilasi udara dalam kandang.  Dengan ventilasi yang baik, selain terjaminnya suplai oksigen dan terbuangnya gas-gas beracun, secara tidak langsung juga akan terjadi pengenceran konsentrasi kuman Koli dalam udara kandang.
3.       Cukup istirahat kandang dan implementasi “biosecurity” yang konsisten.
Kehadiran kuman Koli patogen dalam suatu lingkungan peternakan ayam umumnya berasal dari dua peristiwa, yaitu:
Ø  Adanya DOC (anak ayam umur sehari) yang mengalami infeksi tali pusar (omphalitis).  Infeksi ini umumnya terjadi selama proses-proses produksi DOC itu sendiri, termasuk juga selama transportasi.  Secara tidak langsung, DOC seperti ini akan menjadi “reservoir” alias sumber kontaminasi kuman Koli patogen dalam suatu populasi ayam yang bersangkutan (lihat skhema 1 terlampir).
gkungan)
               
Ø  Adanya sumber kontaminan yang “kaya” dengan kandungan kuman Koli patogen yang mempunyai akses masuk ke dalam lingkungan ayam.  Terkontaminasinya sumber-sumber air yang digunakan dalam suatu lingkungan peternakan merupakan suatu contoh yang paling representatif.  Koli patogen (dalam air minum) yang terkonsumsi oleh ayam selanjutnya akan diekskresikan lewat feses.  Dengan berjalannya waktu pemeliharaan, konsentrasi kuman Koli patogen dalam debu kandang selanjutnya akan semakin pekat.   Pada akhirnya, kondisi ini tentu saja akan mengakibatkan kejadian peradangan kantung hawa (air sacculitis), peradangan selaput jantung (pericarditis), dan atau peradangan selaput hati (perihepatitis).  Itulah sebabnya, kasus Kolibasilosis pada ayam modern umumnya terjadi setelah ayam berumur 2 minggu (setelah konsentrasi kuman Koli dalam debu kandang cukup tinggi).
                Berdasarkan kedua mekanisme kejadian Kolibasilosis pada peternakan ayam modern di atas, maka beberapa langkah penting yang harus dilakukan adalah:
Ø  Untuk mencegah terjadinya kontaminasi lanjut, afkir DOC yang mengalami omphalitis pada fase sedini mungkin.
Ø  Berikan perlakuan khusus pada sumber-sumber air yang terkontaminasi oleh kuman Koli dengan klorinasi.  Berikan klorin dalam tempat penampungan air sebanyak 5 ppm, biarkan selama minimal 6 jam, kemudian baru siap digunakan untuk keperluan air minum atau keperluan lainnya.  Dalam tempat air minum ayam, kadar klorin aktif diharapkan maksimum 3 ppm.
Ø  Jaga kualitas litter dengan memperhatikan rasio bahan litter dan kotoran ayam.  Yang baik, rasio bahan litter dengan material kotoran ayam adalah 7:3.  Jika sudah terjadi penggumpalan, maka sudah dapat dipastikan bahwa material kotoran ayam lebih tinggi dari bahan litter.
Ø  Kepadatan ayam juga menentukan kualitas litter selama pemeliharaan ayam.  Makin tinggi kepadatan ayam, maka kualitas litter akan semakin cepat turun.
Ø  Perhatikan ventilasi udara dalam kandang.  Dalam tempo satu menit, seluruh udara dalam kandang harus diganti dengan udara yang baru.  Kecepatan angin dalam kandang sebaiknya berkisar antara 1,8 sampai 2,4 m per-detik, tergantung pada tipe kandang.
Ø  Berikan preparat antibiotika yang efektif terhadap kuman Koli, terutama pada fase-fase rawan selama pemeliharaan, misalnya Apramycin dengan dosis 50 mg bahan aktif per-kg bobot badan.  Implementasi TPP (therapeutic program planning) sangat dianjurkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar