Kasus Kolibasilosis pada peternakan ayam
modern ibarat “naza” alias bahan adiktif.
Akrab dengan ayam broiler, karib dengan ayam petelur atau bahkan juga
“intim” dengan ayam bibit. Apakah benar
ayam modern lebih peka terhadap kuman Koli?
Atau, apakah teknik pemeliharaan yang makin efisien secara tidak sengaja
telah membuat kuman Koli menjadi “meraja-lela”?
Adanya suatu peribahasa Latin kuno, “Inter faeces urinumque homo est natus” (artinya: manusia
dilahirkan di antara feses dan urin), merupakan suatu kesadaran awal akan
adanya kesamaan mikroflora komensal antara ibu dan anak. Ketika Escherich (1885) berusaha mencari
hubungan antara mikroflora feses bayi dengan kasus-kasus infeksi enterik,
beliau menemukan Bacterium coli commune sebagai patogen pada usus bayi
dan ibunya. Belakangan, sebagai tanda
penghargaan baginya, mikroba tersebut diberi nama Escherichia coli.
Sejak penemuan Escherich
tersebut, secara alamiah, peranan kuman Koli selalu menjadi perdebatan, apakah
sebagai mikroba patogen atau mikroba komensal pada manusia dan hewan. Baru pada tahun 1947, saat Kauffmann
menemukan klasifikasi kuman Koli berdasarkan uji serologis, maka ekologi dan
taksonomi kuman Koli menjadi lebih jelas.
Crichton dan Old (1992)
memberikan sumbangan tambahan pada klasifikasi tersebut ditinjau dari
aspek “resistotyping”, pola kepekaan kuman Koli terhadap preparat antibiotika.
Pada ayam,
khususnya dalam saluran cerna, konsentrasi kuman Koli per-gram isi usus atau
per-gram feses adalah di atas 105 partikel (Harry dan Hemsley,
1965). Pada penelitian lanjut, juga
dapat dibuktikan bahwa kandungan kuman Koli dalam per-gram debu kandang adalah
sama, di atas 105 partikel.
Analisa lanjut dari penemuan Harry dan Hemsley (1965) yang
dikombinasikan dengan taksonomi kuman Koli (menurut Crichton dan Old, 1992)
dalam saluran cerna ayam seperti tertera dalam tabel terlampir.
Tabel 1: Distribusi dan karakteristik
kuman Koli dalam isi saluran cerna ayam
|
|
Tidak Patogenik
(mikroba komensal):
|
Patogenik
(mikroba patogen):
|
|
Kontribusi
|
Lebih dari 85% dari total kuman Koli per-gram isi saluran cerna
(feses) ayam
|
Maksimum 15% dari total kuman Koli per-gram isi saluran cerna (feses)
ayam
|
|
Kemampuan menghemolisa darah merah
|
Tidak, umumnya tergolong dalam non-beta hemolitik
|
Ya, mampu menghemolisa darah merah (beta hemolitik)
|
|
Sensitifitas terhadap preparat
antibiotika
|
Sangat rendah, umumnya tidak terlalu peka terhadap preparat antibiotika
|
Mempunyai sensitifitas yang baik terhadap preparat antibiotika
|
Howe dkk. (1976) berhasil mencermati dinamika kuman Koli yang bersifat
komensal pada ayam. Sero-group O9,
O83, dan O96 secara persisten ada di dalam saluran cerna
ayam pada sepanjang hidupnya. Sero-group
O15, O18, dan O131 hanya ditemukan pada
ayam-ayam muda dan akan menghilang begitu ayam sudah berumur lebih dari 6
minggu. Sementara itu, sero-group O3,
O8, O65, O70, O78, dan O114
hanya akan dijumpai pada ayam-ayam dewasa.
Belum diketahui secara rinci, mengapa terjadi dinamika yang begitu
konsisten dari masing-masing sero-group kuman Koli komensal tersebut. Yang jelas, penelitian Howe ini juga
membuktikan bahwa sebagian besar kuman Koli komensal tidak sensitif terhadap
berbagai preparat antibiotika. Kondisi
ini tentu saja menuntut suatu kehati-hatian yang tinggi pada saat melakukan uji
sensitifitas suatu preparat antibiotika terhadap isolat lapang kuman Koli yang
berasal dari isi saluran cerna (feses) atau bahan litter.
Selanjutnya, pada tahun 1993, Van den Bosch berhasil melakukan
identifikasi tipe kuman Koli patogen pada ayam.
Ada tiga serotipe, yaitu: O1:K1, O2:K1,
dan O78:K80.
Ketiganya dapat mengakibatkan Koli septisemia pada ayam, artinya problem
kolibasilosis yang disertai dengan beredarnya kuman Koli melalui sistem
sirkulasi darah ayam. Ketiga serotipe
kuman Koli pada ayam ini membutuhkan unsur besi (Fe) untuk perkembangbiakannya. Oleh sebab itu, kasus-kasus Kolibasilosis
pada ayam biasanya merupakan infeksi sekunder, segera setelah terjadi problem
primer yang biasanya memberikan peluang kepada kuman Koli untuk melakukan
perbanyakan sel dan invasi.
Serotipe kuman Koli pada sapi dan babi mempunyai umumnya antigen K88
(F4) atau K99 (F5), di mana reseptornya (D-mannose receptor) banyak
sekali dijumpai pada permukaan usus sapi dan babi. Berbeda dengan kuman Koli pada sapi dan
babi, ketiga serotipe pada ayam ini
mempunyai antigen F11 dan mempunyai reseptor yang berbeda, dan reseptor
tersebut tidak terdapat pada saluran cerna ayam. Itulah sebabnya mengapa kasus-kasus
Kolibasilosis pada sapi dan babi dapat menunjukkan gejala diare yang sangat
hebat, bahkan sampai terjadi perdarahan dan kematian, sedangkan pada ayam,
manifestasi pada saluran cerna tersebut bisa dikatakan sangat jarang terjadi.
Di dalam kandang ayam, khususnya pada litter, ternyata keberadaan
kuman Koli tidak tersebar rata secara acak, akan tetapi hanya pada area dengan
kondisi tertentu. Populasi kuman Koli
pada litter ternyata sangat tinggi pada area litter yang mempunyai nilai
aktifitas air (Aw value) di atas 90 dan atau
kelembaban litter di atas 35% (Joseph dan Morales, 2000). Kondisi ini ternyata merupakan kondisi yang
nyaman buat kuman Koli untuk mempertahankan hidupnya, sekaligus melakukan
multifikasi alias memperbanyak diri.
Oleh sebab itu, tindakan mengganti litter yang terlalu lembab dan
memperbaiki sirkulasi udara di dalam kandang (kecepatan angin diharapkan >0,5
meter/detik) tentu saja akan mengurangi kasus-kasus kolibasilosis di lapangan.
Secara umum, kuman Koli bersifat fakultatif anaerob. Dapat melakukan multifikasi dengan kelembaban
lingkungan yang cukup dan ada oksigen.
Dalam kondisi anaerob, kuman Koli membutuhkan karbohidrat (misalnya
glukosa) yang dapat difermentasi untuk kelangsungan hidupnya. Sepintas, kondisi lingkungan yang nyaman buat
kuman Koli ternyata sama dengan kondisi yang diinginkan oleh ayam yang
dipelihara. Oleh sebab itu, untuk
mengurangi tingginya populasi kuman Koli di lingkungan ayam, maka beberapa
langkah berikut dapat membantu, misalnya:
1. Jaga litter jangan terlalu lembab.
Kadar air litter diharapkan sekitar 25-30%.
2. Jaga ventilasi udara dalam kandang.
Dengan ventilasi yang baik, selain terjaminnya suplai oksigen dan terbuangnya
gas-gas beracun, secara tidak langsung juga akan terjadi pengenceran
konsentrasi kuman Koli dalam udara kandang.
3. Cukup istirahat kandang dan implementasi “biosecurity” yang konsisten.
Kehadiran kuman Koli patogen dalam suatu lingkungan peternakan
ayam umumnya berasal dari dua peristiwa, yaitu:
Ø Adanya DOC (anak ayam umur sehari) yang
mengalami infeksi tali pusar (omphalitis). Infeksi ini umumnya terjadi selama
proses-proses produksi DOC itu sendiri, termasuk juga selama transportasi. Secara tidak langsung, DOC seperti ini akan
menjadi “reservoir” alias sumber kontaminasi kuman Koli patogen dalam suatu
populasi ayam yang bersangkutan (lihat skhema 1 terlampir).
gkungan)
Ø Adanya sumber kontaminan yang “kaya” dengan
kandungan kuman Koli patogen yang mempunyai akses masuk ke dalam lingkungan
ayam. Terkontaminasinya sumber-sumber
air yang digunakan dalam suatu lingkungan peternakan merupakan suatu contoh
yang paling representatif. Koli patogen
(dalam air minum) yang terkonsumsi oleh ayam selanjutnya akan diekskresikan
lewat feses. Dengan berjalannya waktu
pemeliharaan, konsentrasi kuman Koli patogen dalam debu kandang selanjutnya
akan semakin pekat. Pada akhirnya,
kondisi ini tentu saja akan mengakibatkan kejadian peradangan kantung hawa (air
sacculitis), peradangan selaput jantung (pericarditis), dan atau peradangan selaput
hati (perihepatitis). Itulah sebabnya,
kasus Kolibasilosis pada ayam modern umumnya terjadi setelah ayam berumur 2
minggu (setelah konsentrasi kuman Koli dalam debu kandang cukup tinggi).
Berdasarkan kedua
mekanisme kejadian Kolibasilosis pada peternakan ayam modern di atas, maka
beberapa langkah penting yang harus dilakukan adalah:
Ø Untuk mencegah terjadinya kontaminasi lanjut, afkir DOC yang mengalami
omphalitis pada fase sedini mungkin.
Ø Berikan perlakuan khusus pada sumber-sumber air yang terkontaminasi oleh
kuman Koli dengan klorinasi. Berikan
klorin dalam tempat penampungan air sebanyak 5 ppm, biarkan selama minimal 6
jam, kemudian baru siap digunakan untuk keperluan air minum atau keperluan
lainnya. Dalam tempat air minum ayam,
kadar klorin aktif diharapkan maksimum 3 ppm.
Ø Jaga kualitas litter dengan memperhatikan rasio bahan litter dan kotoran
ayam. Yang baik, rasio bahan litter
dengan material kotoran ayam adalah 7:3.
Jika sudah terjadi penggumpalan, maka sudah dapat dipastikan bahwa
material kotoran ayam lebih tinggi dari bahan litter.
Ø Kepadatan ayam juga menentukan kualitas litter selama pemeliharaan
ayam. Makin tinggi kepadatan ayam, maka
kualitas litter akan semakin cepat turun.
Ø Perhatikan ventilasi udara dalam kandang. Dalam tempo satu menit, seluruh udara dalam
kandang harus diganti dengan udara yang baru.
Kecepatan angin dalam kandang sebaiknya berkisar antara 1,8 sampai 2,4 m
per-detik, tergantung pada tipe kandang.
Ø Berikan preparat antibiotika yang efektif terhadap kuman Koli, terutama
pada fase-fase rawan selama pemeliharaan, misalnya Apramycin dengan dosis 50 mg
bahan aktif per-kg bobot badan.
Implementasi TPP (therapeutic program planning) sangat dianjurkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar