Menganalisa kasus ayam
kerdil atau dalam bahasa “keren”nya disebut “Runting and Stunting Syndrome”
(RSS) haruslah dilakukan dengan kepala dingin.
Jika tidak, saling tuding antara peternak broiler di suatu pihak dengan
para pembibit di pihak lain akan terus berlangsung. Kondisi ini tentu saja tidak menguntungkan
dan akan mengakibatkan kasus yang terjadi tidak akan terselesaikan dengan baik.
Kasus RSS sebenarnya pertama kali dilaporkan di
Inggris pada tahun 1949, namun kejadiannya hanya sporadik dan setelah itu
hilang dengan sendirinya. Pada
pertengahan tahun 1970 kasus yang mirip dilaporkan lagi di daratan Eropah dalam
waktu yang hampir bersamaan dengan adanya perbaikan penampilan ayam broiler
yang begitu progresif. Setelah itu,
kasus RSS terus menerus dilaporkan terjadi secara sporadik di berbagai belahan
dunia, hanya saja dalam kadar yang tidak begitu hebat.
Di Indonesia, kasus RSS pertama kali terjadi di
Sumatera Utara pada pertengahan tahun 1994.
Saat itu hanya strain tertentu yang terserang, sehingga banyak peternak
yakin akan adanya hubungan antara kasus RSS dengan genetik ayam tersebut. Pihak pemerintahan pun pada saat itu terkesan
tidak siap dan larut dalam emosi peternak yang terkena kasus, sehingga
tergesa-gesa mengeluarkan larangan impor bibit ayam dari strain yang
bersangkutan (walaupun larangan itu sekarang telah dicabut).
Adalah suatu fakta, walaupun kasus RSS juga terjadi
di berbagai belahan dunia, namun kasus yang terjadi di Indonesia merupakan
kasus yang cukup hebat ditinjau dari sudut keparahan kasus yang terjadi. Kejadiannya bukan lagi sporadik, akan tetapi
sudah “mewabah”. Dan ditinjau dari strain
ayam yang terserang pun sudah beragam, walaupun dengan derajat keparahan yang
bervariasi.
Sampai saat ini, kasus RSS
merupakan satu-satunya penyakit ayam di dunia di mana laboratorium tidak
berdaya dalam meneguhkan diagnosa. Mengamati kasus-kasus RSS, ada dua fenomena
menarik yang sangat konsisten, yaitu:
·
Kegagalan ayam untuk tumbuh.
Dalam banyak kasus RSS, bobot badan ayam pada saat berumur 5 minggu
sangat bervariasi, mulai kurang dari 200 gram/ekor (selanjutnya disebut
“Runting”) sampai kurang dari 1 kg/ekor (selanjutnya disebut “Stunting”).
·
Fenomena yang fluktuatif.
Kasus RSS sangat berfluktuasi dalam derajat keparahan dan banyaknya ayam
yang terserang jika dikaitkan dengan iklim, umur ayam induk, tata laksana
peternakan, bobot DOC, jenis pakan, maupun strain ayam.
Pada pengamatan lapang terhadap kasus RSS yang
terjadi, maka kasus-kasus RSS sebenarnya dapat dibagi menjadi 2 kelompok besar,
yaitu (lihat juga tabel 1 terlampir):
1. Kelompok 1a dan kelompok 1b adalah gambaran kasus RSS yang umumnya disertai
dengan tingkat kematian yang relatif lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi
normal. Pada kelompok 1a, kematian
tinggi biasanya terjadi pada ayam di bawah umur 3 minggu dan tanpa disertai
dengan gangguan-gangguan syaraf. Pada
kejadian ini, banyak para ahli menghubungkan kasus RSS dengan kasus SMS
(Spiking Mortality Syndrome) yang umumnya disertai dengan adanya gejala
hipoglisemia (kadar gula darah di bawah kadar normal). Sedangkan kelompok 1b, selain kematian
tinggi, kasus RSS ini juga disertai dengan adanya gangguan syaraf seperti
tortikolis, tremor, inkoordinasi, atau paralisa (kelumpuhan). Gambaran kasus RSS dari kelompok 1b ini
biasanya sering sekali dikelirukan dengan kasus-kasus ND (tetelo) ataupun
infeksi oleh virus AE (Avian Encephalomyelitis). Pada pengamatan histopatologis, gambaran
kasus RSS dari kelompok 1b ini umumnya disertai oleh terjadinya encephalomalacia
(kerusakan sel-sel syaraf otak).
2. Kelompok 2a dan 2b ini biasanya mempunyai tingkat kematian yang relatif
sama dengan flok ayam normal, hanya saja persentasi deplesi (penyusutan) ayam
sangat tinggi. Selain adanya gambaran
RSS, kelompok 2a dan 2b ini ditandai dengan adanya variasi pada gejala klinis
dan gambaran bedah bangkai. Jika suatu
flok ayam terserang kasus RSS, gambaran kelompok 2a (RUNTING) biasanya tidak
lebih dari 5% (berkisar 3-5%), sedangkan gambaran kelompok 2b (STUNTING) sangat
bervariasi, dari 5-50%. Variasi ini
umumnya terkait dengan kondisi peternakan dan tata laksana peternakan
setempat. Peternakan dengan tata laksana
yang baik, biasanya mempunyai persentasi “stunting” yang relatif kecil.
Mencari agen penyebab utama kasus RSS tidaklah
semudah membalik telapak tangan. Banyak para
ahli penyakit unggas yakin, bahwa kasus RSS disebabkan oleh banyak faktor (multi-faktorial). Itulah sebabnya mengapa kasus ini sangat
sulit dibuktikan menurut postulat Koch.
Selain adanya gangguan pertumbuhan yang nyata, tambahan gejala klinis
dan gambaran bedah bangkai pada setiap kasus RSS sangatlah bervariasi,
tergantung faktor mana yang domin
Yang jelas, hampir semua para ahli sepakat, bahwa
dalam kasus RSS keterlibatan agen infeksius, khususnya virus-virus enterik,
cukup dominan. Itulah sebabnya, kasus
RSS sebenarnya adalah kasus infeksius yang bersifat non-kontagius (agen
penyebab infeksius tidak ditularkan lewat kontak langsung dengan ayam
penderita). Kotoran ayam (feses)
diyakini sebagai media pembawa agen penyebab yang infeksius. Untuk jelasnya, marilah kita bahas satu
persatu faktor yang berperanan dalam kasus RSS.
ASPEK GENETIK
Sudah tidak diragukan lagi, peranan para ahli
genetika dalam meningkatkan produktifitas ayam broiler cukup besar. Melalui seleksi genetik yang spektakuler
sejak pertengahan abad keduapuluh, untuk mendapatkan bobot badan yang sama,
lama pemeliharaan ayam broiler rata-rata berkurang 1,3 hari setiap tahunnya
Seleksi genetik yang bertujuan untuk mengeksploitasi
salah satu karakter tertentu sedikit banyak jelas akan membahayakan karakter
yang lainnya. Bukankah di dunia ini
semuanya berada dalam keadaan seimbang dan harmoni? Jika kita mengharapkan suatu karakter tertentu
secara berlebihan, maka kita harus membayarnya, atau dengan kata lain harus ada
karakter lain yang dikorbankan.
Laju
pertumbuhan yang sangat spektakuler yang disebabkan ayam mampu mengkonversi
bahan-bahan pakan menjadi daging secara optimal dan dalam tempo yang singkat
jelas akan mengakibatkan suatu kondisi stres internal, yaitu stres
pertumbuhan. Kondisi stres yang
berkepanjangan ini tentu saja akan mengakibatkan terganggunya kemampuan
adaptasi ayam, termasuk kemampuan dalam menghadapi persaingan hidup dengan
mikroorganisme di sekitarnya. Oleh sebab
itu, tidak tertutup kemungkinan mikroflora usus ayam yang tadinya normal, dalam
kondisi demikian justru akan mengakibatkan gangguan-gangguan pada pencernaan
pakan. Jika gangguan pencernaan
disebabkan oleh keterlibatan mikroflora usus yang tadinya normal, sejauh mana
kita bisa mendeteksinya dengan cara-cara yang konvensional?
TATA LAKSANA PETERNAKAN
Antar strain
ayam broiler secara umum mempunyai pola pertumbuhan yang tidak begitu berbeda
secara nyata. Yang jelas, pada awal
kehidupannya, pertumbuhan tipe hiperplasia (pertambahan bobot badan akibat
pertambahan jumlah sel-sel tubuh = aspek kuantitatif) akan jauh lebih dominan
dibandingkan dengan pertumbuhan tipe hipertrofi (pertambahan bobot badan akibat
perbesaran ukuran sel-sel tubuh = aspek kualitatif). Perhatikan tabel 3 terlampir.
Gangguan-gangguan
pada awal kehidupan ayam, misalnya gangguan pada konsumsi pakan, jelas akan
mengakibatkan gangguan pada pertumbuhan tipe hiperplasia. Gangguan pertumbuhan tipe ini akan
mengakibatkan ayam tidak bisa menampilkan potensi genetiknya secara
optimal. Dibandingkan dengan pertumbuhan
tipe hipertrofi, pertumbuhan tipe hiperplasia relatif sulit dikompensasi. Yang jelas, agar pertumbuhan ayam optimal, bobot
badan ayam pada akhir minggu pertama harus berkisar 3,5 sampai 4,0 kali dari
bobot DOC.
Umum
Beberapa hal
yang terkait dengan tata laksana peternakan jelas dapat mempengaruhi
pertumbuhan ayam, yaitu:
·
Status dehidrasi. Tubuh DOC (anak ayam umur sehari) sebagian
besar mengandung air (kandungan air >80%) yang berfungsi sebagai media
transportasi dan penyangga suhu tubuh.
Bisa dibayangkan, jika DOC tersebut mengalami dehidrasi pada awal
kehidupannya, akankah pertumbuhan tipe hiperplasia akan berjalan normal? Akankah konsumsi pakan akan terpenuhi?
·
Kepadatan ayam.
Jika DOC diletakkan pada induk buatan yang terlalu sempit, maka DOC
tersebut akan mengalami stres sosial.
Dalam kondisi seperti ini jelas konsumsi pakan ayam tidak tercapai. Di samping itu, kepadatan ayam yang terlalu
tinggi jelas akan mengakibatkan kompetisi dalam mendapatkan pakan, sehingga
selain ada gangguan pertumbuhan, keseragaman ayam juga akan lebih buruk.
·
Kondisi induk buatan (brooder). Induk buatan diharapkan dapat memberikan
lingkungan yang sesuai dengan apa yang diinginkan oleh anak ayam. Jika temperatur lingkungan ayam terlalu
berfluktuasi atau tidak sesuai dengan apa yang diinginkan, maka pada tahap yang
paling ringan anak ayam akan mengalami stres.
Selanjutnya konsumsi pakan tentu saja akan terganggu.
·
Pemberian pakan awal. Penelitian secara intensif yang dilakukan
oleh beberapa ahli unggas selama tahun 1996-1998 membuktikan bahwa pemberian
pakan seawal mungkin dari kehidupan ayam akan menstimulasi perkembangan
alat-alat pencernaan dan sistem pertahanan tubuh ayam. Jika perkembangan sistem pencernaan lebih
awal, tentu saja penggunaan bahan-bahan nutrisi yang terkandung dalam pakan
akan jauh lebih efisien.
·
Kualitas dan tata laksana pemberian pakan. Dengan mengamati tabel 2 di atas, maka dapat
ditarik kesimpulan bahwa jika terjadi gangguan pada konsumsi pakan sedikit
saja, maka gangguan pada pertumbuhan ayam broiler sekarang jelas akan lebih
nyata. Apalagi ditambah dengan gangguan
pada kualitas pakan yang digunakan.
·
Kondisi peternakan secara umum. Tidak hanya mikroorganisme yang patogen
(ganas) saja yang dapat mengganggu pertumbuhan ayam, akan tetapi juga
mikroorganisme lingkungan dan debu kandang.
Dalam lingkungan yang kotor, ayam akan menggunakan sebagian energinya
untuk mengeliminasi debu ataupun mikroorganisme yang masuk ke dalam tubuhnya
melalui sistem pernafasan. Jadi energi
yang ada tidak dikonversi sepenuhnya menjadi jaringan otot.
AGEN INFEKSIUS
Banyak para ahli penyakit unggas yakin bahwa agen
infeksius cukup berperanan dalam mengakibatkan kasus RSS. Dari begitu banyak agen infeksius yang
diduga, virus-virus enterik yang juga merupakan virus normal dalam saluran
cerna ayam merupakan agen infeksius yang paling banyak diyakini mempunyai
peranan penting dalam kasus ini. Sampai
saat ini, berdasarkan peranannya dalam kasus RSS, maka virus-virus enterik ayam
dapat dikelompokkan menjadi 2 kelompok besar, yaitu:
·
Virus-virus enterik yang diduga mempunyai
peranan sebagai faktor pencetus, misalnya Reovirus dan atau Adenovirus.
·
Virus-virus enterik yang mempunyai peranan
dalam membentuk infeksi kompleks dengan faktor pencetus, misalnya
Enterovirus-like particles, Rotavirus, Parvovirus, Arenavirus-like particles,
Calicivirus, dan juga Togavirus-like particles.
Anehnya, jika
masing-masing virus enterik tersebut diinfeksikan ke DOC yang sehat, maka
gejala RSS tidak akan muncul sama sekali.
Sebaliknya jika isi usus ayam yang menunjukkan gejala RSS (yang
mengandung populasi virus tersebut) dicekokkan pada DOC yang sehat, maka gejala
RSS akan tampak dengan variasi dalam tingkat keparahan dan jumlah ayam yang
menunjukkan gejala RSS. Ini berarti,
dalam kasus RSS, gangguan pencernaan dan manifestasi klinis hanya akan tampak
jika terjadi infeksi kompleks dari virus-virus enterik tersebut yang notabene
juga merupakan mikroflora normal dalam usus ayam. Itulah sebabnya, mengapa sampai saat ini
uji-uji serologis tidak begitu banyak membantu dalam mencari penyebab kasus RSS
yang potensial.
Selanjutnya, bakteri
seperti Camphylobacter jejuni
dilaporkan turut memperparah kasus RSS di lapangan. Gejala klinis tambahan dan juga gambaran
bedah bangkai sangat tergantung pada mikroorganisme mana yang dominan pada
setiap kasus RSS tertentu. Kondisi
seperti ini juga yang menyebabkan mengapa adanya variasi pada gejala klinis dan
gambaran bedah bangkai dalam kasus RSS (lihat juga tabel 4 dan 5).
Yang jelas,
dari banyak penelitian yang telah dilakukan, peranan agen infeksius saja tidak
cukup untuk menampilkan gambaran RSS seperti yang terlihat di lapangan. Di lain pihak, pemberian vaksinasi Reovirus
pada tingkat ayam bibit pun tidak mampu mencegah kejadian RSS pada progeninya
(keturunannya). Ini berarti ada faktor
lain yang juga turut memainkan peranan tertentu dalam kejadian RSS.
FAKTOR IMUNOSUPRESI
Faktor-faktor imunosupresi (menekan respon kekebalan
tubuh) seperti stres, cemaran aflatoksin-B1 atau infeksi oleh virus-virus
Mareks, Gumboro (IBD), Reo, atau Leukosis diketahui akan memperbesar peluang
untuk terjadinya kasus RSS. Kondisi
imunosupresi juga akan mengakibatkan ayam lebih mudah terinfeksi mikroorganisme
yang ada di sekitarnya. Itulah sebabnya
mengapa pada kasus RSS, gejala klinis tambahan dan juga gambaran bedah bangkai
sangat bervariasi, tergantung mikroorganisme mana yang dominan yang
mengakibatkan kerusakan-kerusakan pada jaringan tubuh ayam.
BEBERAPA TIPS UNTUK
MENGURANGI KASUS RSS
Karena penyebab utama RSS belum diketahui secara
pasti dan mengingat RSS disebabkan oleh banyak faktor, maka beberapa tindakan
di bawah ini mungkin dapat membantu mengurangi beratnya kasus RSS di
lapangan. Kerja sama antara pihak
perusahaan pembibit dan peternak broiler sangat diharapkan.
Tips Untuk
Perusahaan Pembibitan Ayam:
·
Pastikan titer antibodi terhadap virus IBD, AE
dan Reo dalam level yang protektif, terutama pada masa-masa rawan selama
produksi telur, yaitu sekitar menjelang puncak produksi telur dan umur ayam
sesudah 55 minggu.
·
Set telur tetas yang berasal dari flok yang
sama dengan perbedaan bobot telur tidak lebih dari 8%.
·
Jangan menunda “pull chick” yang terlalu lama.
·
Jaga suhu ruang DOC sekitar 22oC
dengan kelembaban relatif 50-70%.
·
Jika cuaca panas, sediakan udara segar sebanyak
4,3 m3 per-menit untuk setiap 1000 ekor DOC.
·
Minimkan faktor-faktor stres selama penanganan
dan pengiriman DOC ke lokasi peternakan broiler.
Tips Untuk Peternakan Ayam Broiler:
·
Hindarkan stres karena kelalaian dalam
penanganan induk buatan.
·
Beri pakan DOC yang baru tiba segera setelah
diberi air minum yang mengandung laktosa monohidrat 1-2%. Laktosa monohidrat ini diharapkan juga akan
menstimulasi kolonisasi mikroflora usus normal ayam dalam tempo yang singkat.
·
Pastikan tempat pakan dan minum tersedia dalam
jumlah yang cukup dengan distribusi yang baik.
·
Jaga sanitasi lingkungan kandang dengan
melakukan desinfeksi yang terprogram.
·
Minimkan faktor-faktor stres, terutama yang
terkait dengan tata laksana peternakan secara umum.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar