Selain berbekal kemampuan teknis yang memadai, seorang praktisi lapangan
kadang kala membutuhkan suatu instuisi yang tajam dalam mencari penyebab utama
kasus-kasus yang sedang dihadapinya.
Perpaduan antara kedua hal tersebut di atas akan menjadi lebih baik lagi
jika disertai dengan pengalaman lapang yang cukup.
Gangguan pada sistem pertahanan tubuh yang disebabkan oleh adanya
faktor-faktor yang bersifat imunosupresif (faktor yang menekan/mendepresi
respon pertahanan tubuh) mungkin menjadi suatu contoh yang paling representatif
dewasa ini. Akibat jeleknya sistem
pertahanan tubuh, maka akan muncul kasus-kasus infeksius yang sangat bervariasi
baik dalam jenis maupun dalam derajat keparahannya, bahkan cenderung dalam
bentuk infeksi kompleks yang berulang-ulang. Akibat tubuh hanya mengandalkan
kekuatan dari potensi suatu antibiotika dalam suatu program pengobatan, maka
program antibiotika tersebut seolah-olah tidak “cespleng” atau bahkan gagal
sama sekali. Antibiotika seolah sudah
tidak berdaya sama sekali.
Tulisan ini bertujuan untuk memberikan gambaran sepintas kepada kolega
praktisi lapang mengenai faktor-faktor imunosupresi itu sendiri, termasuk
bagaimana mendeteksinya di lapangan secara sistematik. Tulisan ini juga dibuat dalam rangka
mengenang almarhum Prof. Drh. H. Masduki Partadiredja, MSc., PhD., guru dan
“orang tua” kami, yang banyak sekali membekali penulis dalam ilmu dasar
penyakit yang terkait dengan sistem imunologis.
Pengertian Imunosupresi:
Kemungkinan adanya faktor-faktor yang bersifat imunosupresif sudah
diketahui pada awal tahun 1900-an (Adair, 1996). Dr. Denise K. Thorton (Central Veterinary
Lab. – UK) dalam “16th Poultry Science Symposium” (1980), sedikit
membahas beberapa laporan mengenai peranan faktor-faktor yang bersifat
imunosupresif dalam menentukan keberhasilan suatu program vaksinasi pada unggas
(Olson, 1967; Payne, 1970; Cunningham, 1975; Koyama et. al., 1975). Baru dalam
“Poultry Immunology Symposium” terakhir yang diadakan di Universitas Reading –
Inggris (18-24 September 1995), hal-hal yang berkaitan erat dengan
faktor-faktor imunosupresi pada unggas dibahas secara rinci dan khusus.
Secara harafiah, imunosupresi dapat diartikan “menekan respon
imun”. Pengertian yang lebih luas lagi
adalah suatu kondisi di mana tubuh tidak memberikan respon yang optimal
terhadap adanya induksi ataupun stimulasi sesuatu yang bersifat imunogenik
(sesuatu yang mampu membangkitkan respon kekebalan/imun). Tegasnya, imunosupresi membuat tubuh host
alias induk semang menjadi semakin ringkih.
Kejadian dan Faktor Penyebab Imunosupresi:
Sebenarnya ada beberapa kondisi yang dapat menyebabkan timbulnya
kejadian imunosupresi, yaitu:
a. Rusaknya jaringan-jaringan tubuh yang berfungsi untuk
membentuk/mendewasakan sel-sel yang berperanan dalam respon kekebalan, misalnya
timus (thymus), bursa Fabricius, sumsum tulang, limpa dan jaringan limfoit
lainnya (misalnya daun Peyer). Kerusakan
jaringan ini bisa disebabkan oleh virus (misalnya: Reovirus, Mareks Disease
Virus, Chicken Anaemia Virus, Sarcoma Viruses, IBD Virus) atau oleh
toksin-toksin tertentu seperti Aflatoksin.
Efek dari rusaknya jaringan limfoit selain dari mengecilnya jaringan
limfoit itu sendiri, juga menyebabkan menurunnya jumlah sel-sel darah putih
secara ke seluruhan, termasuk sel-sel limfosit dewasa yang beredar di dalam
sistem sirkulasi tubuh, baik itu sistem peredaran darah maupun sistem peredaran
limfe (system getah bening atau limfatik).
Kondisi ini tentu saja akan mengakibatkan reaksi tubuh dalam menghadapi
tantangan bibit penyakit yang masuk akan menjadi lebih lama atau tidak
optimal. Selanjutnya, Labro (1990)
melaporkan bahwa penggunaan antibiotika jenis Tetrasiklin dalam waktu yang
relatif lamapun akan menekan jumlah populasi sel-sel limfosit, walaupun pada
penelitian selanjutnya diketahui efek tersebut hanyalah bersifat sementara dan
mekanismenyapun belum diketahui secara pasti.
b. Rusaknya struktur dan fungsi fisiologis sel-sel darah putih (termasuk
sel-sel limfosit). Kondisi ini dapat
disebabkan juga oleh virus-virus dan toksin yang disebutkan di atas, tergantung
dari derajat keparahan infeksi ataupun level dan lamanya induk semang
terinduksi oleh Aflatoksin.
c.
Walaupun struktur sel-sel darah putih
(termasuk sel-sel limfosit) tidak terganggu, namun ada kalanya hanya fungsi
fisiologisnya saja yang terganggu. Hal
ini bisa terjadi akibat stres yang luar biasa ataupun pengaruh dari Aflatoksin
dosis rendah (lazy leucocyte syndrome).
Pada kondisi seperti ini sel-sel limfosit yang normal secara anatomis
tidak memberikan respon yang optimal secara fisiologis terhadap adanya induksi
secara imunologik.
Adair (1995) menyatakan bahwa kondisi imunosupresi juga dapat terjadi
akibat terjadinya infeksi-infeksi pada jaringan-jaringan non-limfoit seperti
kelenjar tiroid (thyroid). Pada kondisi
seperti ini berarti agen penyebabnya secara tidak langsung mengganggu reaksi
imunologis. Hal ini mirip sekali dengan
laporan Klasing (1997) tentang peranan Interleukin-1 (sejenis sitokin) yang
terbentuk pada respon kekebalan dan pengaruhnya pada penampilan pertumbuhan
pada ayam potong.
Jadi … secara umum dapat disimpulkan bahwa kondisi imunosupresi dapat
terjadi akibat terganggunya respon kekebalan secara normal yang disebabkan oleh
faktor-faktor infeksius atau pun non-infeksius, baik secara langsung ataupun
secara tidak langsung.
Tanda-tanda Kondisi Imunosupresi:
Di lapangan sangatlah sulit untuk mendeteksi kejadian imunosupresi
secara cepat dan pasti. Yang jelas,
adanya kasus yang sangat bervariasi serta berulang-ulang dan juga jeleknya
penampilan ayam yang dipelihara secara keseluruhan merupakan gambaran yang
sering ditemukan secara konsisten.
Dalam laporannya, Adair (1995) menyebutkan tanda-tanda kondisi
imunosupresi pada ayam adalah sebagai berikut:
a. Meningkatnya kejadian infeksi sekunder.
b. Respon terhadap vaksin sangat lemah.
c. Penyusutan atau degenerasi jaringan limfoit.
d. Menurunnya jumlah butir darah putih yang bersirkulasi (dalam
darah/limfe).
e. Menurunnya respon limfosit.
f.
Menurunnya produksi sitokin oleh
butir-butir darah putih.
Akan tetapi … berdasarkan pengalaman penulis di lapangan, maka
gejala-gejala kondisi imunosupresi dalam suatu flok ayam dapat dikategorikan
menjadi 3 kelompok besar, yaitu:
A. RESPON TERHADAP VAKSIN:
Jika terdapat faktor imunosupresi di dalam suatu populasi ayam, maka
ayam-ayam yang berada di dalam populasi tersebut akan memberikan reaksi pasca
vaksinasi yang berlebihan, baik dari segi jumlah ayam yang menunjukkan
gejala-gejala pasca vaksinasi maupun derajat keparahannya. Gejala-gejala pasca
vaksinasi tersebut biasanya sangat tergantung pada jenis vaksin yang
diberikan. Gangguan-gangguan pernafasan
biasanya merupakan reaksi pasca vaksinasi dari pemberian vaksin aktif ND maupun
IB. Secara normal, jika kondisi tubuh
ayam yang divaksinasi cukup baik dan tidak ditemukan adanya faktor
imunosupresi, maka reaksi pasca vaksinasi akan muncul antara hari kedua sampai
hari kelima sesudah vaksin diberikan dan tampak pada tidak lebih dari 10% dari
ayam yang divaksinasi. Tiga sampai lima
hari berikutnya ayam akan sembuh sendiri.
Dan tentu saja, hal ini tidak akan terjadi pada kondisi imunosupresi, di
mana kejadiannya biasanya berlarut-larut dan cenderung makin parah.
Pada pengamatan hasil-hasil uji serologis, jika terdapat faktor
imunosupresi di dalam suatu populasi ayam, biasanya peternak akan mendapatkan
hasil titer zat kebal yang relatif lebih rendah dibanding biasanya dan juga
mempunyai variasi hasil titer yang relatif cukup besar. Ini berarti, secara rata-rata titer zat kebal
yang ada pada populasi ayam yang diamati adalah lebih rendah dari biasanya
(tentu saja mempunyai resiko kegagalan yang lebih besar) dan mempunyai titer
terendah dan tertinggi dengan interval yang sangat jauh. Kondisi seperti ini tentu saja lebih mudah
diamati pada ayam-ayam yang sedang produksi.
Karena hal-hal tersebut di atas, maka pada saat kita melakukan
anamnese (pengumpulan data sejarah penyakit/kasus) peternak sering mengeluh
akan tingginya kegagalan-kegagalan program vaksinasi, munculnya kasus penyakit
yang berulang-ulang, meningkatnya jumlah pengulangan-pengulangan (booster)
vaksin, serta jeleknya hasil pemeriksaan titer zat kebal yang diperoleh.
Jadi, pada kondisi imunosupresi, respon terhadap vaksin adalah
sbb.:
¨ Terhadap vaksin aktif, reaksi pasca vaksinasi akan lebih hebat
¨ Titer zat kebal yang diperoleh dari vaksinasi akan lebih rendah dari
biasanya
¨ Variasi titer zat kebal yang diperoleh sangat tinggi (tidak seragam)
¨ Tingginya pengulangan program booster
B. RESPON TERHADAP MIKROORGANISME LINGKUNGAN:
Karena respon tubuh terhadap adanya serangan bibit penyakit menurun,
termasuk dalam menghadapi aktifitas mikroorganisme lingkungan, maka suatu
populasi ayam yang mengalami kondisi imunosupresi akan memperlihatkan angka
kematian (mortalitas) dan juga angka penularan (morbiditas) yang biasanya lebih
tinggi dari pada normal, tergantung dari jenis bibit penyakit yang menyerang
dan juga derajat imunosupresi itu sendiri.
Hal ini sangat mudah dideteksi di lapangan. Peternak akan bingung dengan adanya kasus-kasus kematian ayam yang tidak
biasanya terjadi.
Di lain pihak, karena mikroorganisme lingkungan sering terlibat pada
setiap kasus yang terjadi, maka pada kondisi imunosupresi, manifestasi kasus
infeksius yang terjadi biasanya dalam bentuk infeksi kompleks dan tanda-tanda
klinis maupun kelainan-kelainan pada bedah bangkai sangatlah bervariasi,
tergantung pada mikroorganisme mana yang dominan pada saat itu. Karena kejadian kompleks inilah yang kadang
kala menyesatkan diagnosa dan menyulitkan program pengobatan yang akan
dianjurkan pada peternak. Dalam keadaan
seperti ini, para praktisi lapang yang kurang teliti sering kali memberikan
rekomendasi yang sifatnya superfisial, bukan pada faktor penyebab sesungguhnya.
Secara umum, pada kondisi imunosupresi, respon terhadap
mikroorganisme lingkungan adalah sbb:
¨ Kalau terjadi kasus penyakit, angka kematian dan penularan biasanya
lebih tinggi dibanding biasanya.
Penularan penyakit dalam satu kandang/farm biasanya juga jauh lebih
cepat.
¨ Kasus-kasus infeksius yang terjadi biasanya kompleks dan sangat
bervariasi, tergantung pada mikroorganisme yang dominan pada saat itu.
¨ Kasus infeksius yang sama sering terjadi berulang-ulang.
¨ Atau … muncul kasus-kasus infeksius yang biasanya tidak terjadi di
lingkungan peternakan tersebut.
C. RESPON TERHADAP ANTIBIOTIKA:
Cepat pulihnya individu ayam yang sakit selain akibat kerja dari
suatu senyawa antibiotika, juga disebabkan oleh membaiknya kondisi tubuh ayam
secara ke seluruhan, dalam hal ini bisa diartikan bahwa tubuh mulai memberikan
respon kekebalan yang cukup. Jika respon
pembentukan zat kebal terganggu oleh adanya faktor imunosupresi, maka sangatlah
jelas bahwa tingkat ketergantungan pada potensi antibiotika yang digunakan
begitu besar. Ini berarti …, respon pada
penggunaan preparat antibiotika mungkin akan jauh lebih lambat, atau bahkan
seolah-olah memberikan efek yang sangat minim.
Jika kondisi ini terjadi, peternak dengan mudah akan mengatakan bahwa
telah terjadi problem resistensi.
Kadang kala, karena begitu banyaknya mikroorganisme yang terlibat
dalam suatu kasus, maka antibiotika yang berspektrum luaspun tidak memberikan
hasil yang memuaskan. Begitu program
antibiotika dihentikan, dengan cepat kasus akan muncul kembali, bahkan dengan
derajat keparahan yang lebih hebat. Atau
… seolah-olah kasus yang terjadi tidak berespon sama sekali terhadap
antibiotika yang dipakai.
Dalam kondisi seperti ini, peternak sering kali mengalami
frustasi, karena rotasi penggunaan antibiotika juga tidak memberikan hasil yang
signifikan.
Jadi … ada beberapa poin penting dalam hal respon terhadap
antibiotika pada kondisi di mana terdapat faktor imunosupresi, yaitu:
¨ Sering terjadi kegagalan penggunaan program antibiotika, baik itu
sebagai program pencegahan maupun program pengobatan.
¨ Frekuensi penggunaan preparat antibiotika menjadi lebih sering, akibat
kasus yang terjadi sering berulang-ulang.
Penanganan Kasus Imunosupresi:
Yang jelas … jika pada suatu populasi ayam ditemukan kasus-kasus yang
mengarah kepada adanya kondisi imunosupresi, maka tentu saja langkah utama yang
harus dilakukan adalah meniadakan faktor imunosupresi tersebut. Tergantung pada jenisnya, apakah itu virus,
toksin ataukah kondisi stres tertentu.
Oleh sebab itu, hasilnyapun sangat bervariasi.
Dari pengalaman penulis, pemberian “supportive treatments” seperti
pemberian tambahan vitamin C (15-25 mg asam askorbat/kg BB/hari) dan vitamin E
(100 IU/kg BB/hari) sangat membantu pemulihan kondisi ayam, di samping itu juga
perlu ditingkatkan pelaksananaan program-program “biosecurity” di lingkungan
peternakan yang bersangkutan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar