Awal yang
baik akan memberikan hasil yang baik.
Ternyata, pepatah kuno tersebut juga berlaku pada aktifitas pemeliharaan
ayam modern. Soalnya, kesalahan pada
penanganan awal telah terbukti akan mengakibatkan penampilan ayam selanjutnya
yang tidak prima alias kurang “tokcer” pada pertumbuhannya.
Berdasarkan pengamatan lapangan,
ada tiga masalah yang paling sering mengganggu pemeliharaan awal ayam, yaitu:
tingginya faktor stres yang ada, peradangan tali pusar (omphalitis) dan
dehidrasi (kehilangan cairan tubuh yang berlebihan). Tulisan ini akan difokuskan pada hal-hal yang
terkait dengan masalah stres.
Stres dan Penampilan Akhir Ayam
Stres merupakan reaksi fisiologis normal ayam dalam rangka
beradaptasi dengan situasi baru, baik itu yang terkait dengan lingkungan maupun
perlakuan-perlakuan yang diterima oleh ayam. Proses adaptasi ini tentu saja
akan membutuhkan sejumlah energi tertentu yang akan diperoleh dari sisa kuning
telur yang ada, pakan, atau bahkan dari cadangan energi lain yang terdapat
dalam tubuh ayam. Itulah sebabnya, dalam
kondisi stres yang tinggi, bobot badan ayam sangat sulit untuk mencapai bobot
yang sesuai dengan standart, karena sebagian energi akan digunakan untuk
mengeliminir efek stres yang terjadi.
Di lain
pihak, tingginya faktor stres yang ada, terutama disebabkan oleh proses-proses
yang terjadi di lingkungan penetasan seperti seleksi dan penghitungan DOC,
vaksinasi Mareks dan potong paruh (khusus untuk DOC ayam petelur), transportasi
serta kondisi di lingkungan induk buatan, dapat mengakibatkan kondisi umum DOC
akan menurun, rendahnya nafsu makan serta terganggunya penyerapan sisa kuning
telur. Selanjutnya, hal ini tentu saja
akan memperparah kondisi ayam secara umum.
Adanya
faktor-faktor stres tersebut akan mengakibatkan peningkatan sekresi Adeno Cortico Streroid Hormone (ACTH)
oleh kelenjar pituiteri pada otak
(Siegel, 1999). Salah satu efek
utama dari tingginya kadar hormon ini adalah menurunnya laju metabolisme tubuh
secara umum, termasuk menurunnya penyerapan sisa kuning telur yang masih
ada. Secara normal, sisa kuning telur
yang ada pada DOC akan habis terserap dalam tempo 4-7 hari setelah menetas
(hatching). Gangguan pada penyerapan
akhir sisa kuning telur ini akan memberikan beberapa efek negatif pada
perkembangan ayam selanjutnya, yaitu:
Ø Gangguan pada kecukupan nutrisi yang dibutuhkan pada awal
kehidupan ayam. Dibner (1998) telah
membuktikan bahwa untuk pertumbuhan lanjut jaringan tubuh ayam setelah menetas,
kurang lebih 50% dari kebutuhan protein dan energi pada hari pertama berasal
dari sisa kuning telur yang ada, karena pada awal kehidupan ayam, sistem
pencernaannya belum berfungsi secara optimum, termasuk sekresi enzim-enzim
pencernaan. Gangguan pada kecukupan
nutrisi ini pada tahap berikutnya tentu saja akan mengakibatkan keterlambatan
tumbuh pada ayam yang dipelihara, termasuk besarnya peluang untuk mendapatkan
ayam yang tidak seragam (un-uniform), baik itu pada ayam broiler atau ayam
petelur.
Ø Gangguan pada absorpsi zat kebal induk yang terkandung dalam sisa
kuning telur. Gangguan ini sedikit
banyak agak bervariasi, tergantung pada derajat stres yang dialami oleh
DOC. Yang jelas, manifestasi lapangan
yang bisa dideteksi adalah tidak optimumnya dan tidak ratanya antibodi dari
induk yang dapat diserap oleh DOC.
Secara umum, kondisi ini akan mengakibatkan meningkatnya kepekaan ayam
yang bersangkutan terhadap tantangan mikroba dari lingkungan, termasuk
terganggunya respon kekebalan akibat pemberian vaksin aktif. Alexander (1988) mengatakan bahwa
ketidakrataan zat kebal induk yang ada pada flok ayam tertentu setidaknya akan
memberikan pengaruh yang tidak menguntungkan pada keberhasilan vaksinasi
terhadap ND (Newcastle Disease).
Ø Gangguan pada absorpsi sisa kuning telur akan memperbesar peluang
terjadinya kontaminasi kuman lingkungan.
Walaupun sisa kuning telur telah berada di dalam rongga perut ayam,
namun pada minggu-minggu pertama masih terdapat pori-pori yang cukup banyak
pada bekas tali pusar ayam. Lingkungan
dengan sanitasi yang tidak begitu baik dan ditambah dengan adanya kuning telur
yang mengalami gangguan pada absorpsinya akan memperbesar peluang terjadinya
kontaminasi kuning telur oleh kuman lingkungan.
Walaupun kontaminasi kuman lingkungan ini tidak mengakibatkan kematian
yang tinggi pada DOC yang bersangkutan, namun aktifitas kuman lingkungan pada
sisa kuning telur tersebut akan mengakibatkan perubahan sifat-sifat fisika
maupun kimiawi pada kuning telur yang ada, misalnya terjadinya penggumpalan
(koagulasi) kuning telur. Manifestasi
akhir dari kondisi ini adalah adanya kuning telur yang persisten selama hidup
ayam tersebut. Selanjutnya, adanya gangguan pertumbuhan, asites, atau bahkan
peningkatan kematian ayam dapat dengan mudah ditemui pada fase-fase berikutnya.
Kondisi stres pada ayam juga akan mengakibatkan terganggunya
sekresi neurotransmitter (cairan penghubung impuls) pada sistem syaraf
ayam. Salah satunya adalah
kholesistokinin. Gangguan pada sekresi
neurotransmitter ini dapat mengakibatkan turunnya tingkat konsumsi pakan pada
ayam yang dipelihara (Cook, 1998).
Tergantung pada derajat stres yang dialami oleh ayam, maka gangguan
konsumsi pakan yang dialami juga akan sangat bervariasi. Manifestasi akhir dari kondisi ini adalah
adanya gangguan pertumbuhan pada ayam yang sangat bervariasi dan tentu saja
ayam dalam flok yang bersangkutan sangat tidak seragam.
Pada sisi lain, Siegel dan Gross pada tahun 1990 telah membuktikan
bahwa adanya stres pada ayam akan mengakibatkan beberapa efek negatif pada
sistem pertahanan tubuh dalam menghadapi agen penyakit. Yang jelas, dalam kondisi kadar ACTH yang
tinggi, kewaspadaan butir darah putih dalam menangkal bibit penyakit akan
menurun (lazy leucocyte syndrome).
Kondisi ini tentu saja akan mengakibatkan peningkatan kepekaan ayam
terhadap tantangan bibit penyakit.
Stres
ternyata juga dapat mengakibatkan gangguan pada sistem pencernaan ayam. Fuller (1982) adalah seorang peneliti
pertama yang mengamati efek stres pada ayam terhadap menurunnya laju
peristaltik usus dan perubahan komposisi mikroflora usus. Pada tahap akut, adanya stres akan
mengakibatkan peningkatan laju peristaltik usus, akan tetapi pada fase berikutnya
justru terjadi penurunan laju peristaltik usus yang diikuti dengan perubahan
komposisi mikroflora usus. Yang jelas,
manifestasi kedua kondisi ini adalah sama yaitu “wet dropping” alias kotoran
basah dan efisiensi pakan tentu saja akan menurun.
Jadi, agar ayam anda dapat menunjukkan potensi genetiknya secara
maksimal, coba minimkan faktor stres yang diterimanya pada awal kehidupan. Caranya adalah, dengan penanganan yang lebih
baik, penuh dengan perasaan sayang alias perasaan “peri-kebinatangan”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar