Ayam moderen sekarang tampaknya memang lebih
cengeng. Temperatur, kelembaban dan
kualitas udara yang baik sangat dibutuhkan untuk mengekspresikan potensi
genetiknya. Sebab jika tidak, maka ayam
mogok tumbuh atau bahkan mati.
Ujung-ujungnya adalah urusan uang, peternak akan untung atau rugi dalam
usaha peternakannya. Seri pertama
tulisan ini hanya membahas hal terkait temperatur, bagaimana respon faali
(fisiologis) dan respon kekebalan (imunologis) ayam dalam beradaptasi dengan
kondisi lingkungannya.
Dalam urusan temperatur tubuh, ayam termasuk kategori hewan homeotermal
alias hewan berdarah panas. Tegasnya,
temperatur tubuh relatif stabil dan berada dalam selang (range)
temperatur tertentu, tidak tergantung pada temperatur lingkungannya. Akan tetapi, dalam hirarki hewan bertulang
belakang (vertebrata), ayam termasuk dalam kelas Aves (bangsa burung)
yang merupakan kelas peralihan antara hewan berdarah dingin (poikilotermal)
dengan hewan homeotermal. Itulah
sebabnya pada ayam muda (umur di bawah 3 minggu) dikenal masa brooding
(masa indukan), di mana pada masa ini kemampuan adaptasinya terhadap temperatur
lingkungan masih rendah dan perkembangan lanjut sistem termoregulatornya masih
terus terjadi.
Pengaturan
temperatur tubuh hewan homeotermal relatif kompleks dan merupakan suatu sirkuit
yang terdiri dari beberapa komponen.
Menurut Romanoff (1967) dan Sturkie (1976), pengaturan temperatur tubuh
ayam dilakukan oleh empat komponen penting, yaitu bagian depan (anterior)
hipotalamus, bagian pre-optik otak besar (cerebrum), tali syaraf otak
kesepuluh (nervus vagus) dan tali-tali syaraf tepi yang sensitif
terhadap temperatur (temperature sensitive nerves).
Dalam penelitian lanjut Romanoff diketahui, ayam umur sehari alias DOC
belum dapat mengatur temperatur tubuhnya dengan baik. Mekanisme pengaturan temperatur tubuh yang
dilakukan oleh sistem termoregulator baru terjadi secara optimal ketika ayam
berumur 8-12 hari. Di lain pihak,
menurut Sturkie komponen termoregulator berupa tali-tali syarat yang sensitif
terhadap temperatur pada ayam muda sudah berfungsi dengan baik ketika ayam
berumur sehari dan sebagian besar terletak di telapak kaki. Itulah sebabnya, walaupun komponen
termoregulator lainnya (terutama komponen yang merupakan bagian dari otak
besar) belum berkembang dengan baik, telapak kaki merupakan organ sensori yang
paling penting pada saat DOC berinteraksi pertama kali dengan lingkungannya.
Adalah Riegnier dan Kelley pada tahun 1981 melaporkan pertama kali
fenomena renyatan temperatur (temperature shock) pada DOC. Kondisi ini bisa terjadi jika seekor DOC
diletakkan pada permukaan litter dengan temperatur rendah, khususnya pada
temperatur di bawah 250C.
Itulah sebabnya, untuk menghindari terjadinya renyatan temperatur pada
tahap awal pemeliharaan ayam, pemanas harus dinyalakan minimum satu jam sebelum
DOC ditebar di atas litter dalam indukan buatan.
Renyatan temperatur yang terjadi pada DOC tidak bisa dianggap remeh. Kompilasi dan analisa data penelitian yang
dilakukan oleh Dietert (1994), Klasing (1997), Dibner (1998) serta Sklan (1999)
menunjukkan beberapa mekanisme lanjut dari renyatan temperatur tersebut, yaitu:
- Meningkatnya kadar adenocorticotropic hormone (ACTH) yang merupakan suatu indikator terjadinya stres pada DOC yang bersangkutan. Kadar ACTH yang lebih tinggi dari normal akan membawa dampak lanjut berupa terganggunya proses penyerapan sisa kuning telur. Ini berarti, penyerapan zat kebal dari induk dan komponen nutrisi lainnya yang terkandung dalam kuning telur jelas terhambat. Di lain pihak, kadar ACTH yang berlebihan juga akan memberikan efek lazy leucocytes syndrome, yaitu suatu kondisi di mana butir darah putih tidak memberikan respon yang optimal terhadap keberadaan benda asing alias patogen yang menginvasi tubuh ayam bersangkutan. Manifestasi lapangan dari kejadian-kejadian tersebut di atas adalah terganggunya pertumbuhan lanjut ayam dengan berbagai derajat keparahan dan rentannya ayam terhadap serangan mikroorganisme dari lingkungannya, termasuk mikroorganisme yang terdapat dalam vaksin aktif (reaksi pasca vaksinasi akan berlebihan). Perhatikan juga bagan 1.
- Adanya perubahan dalam tingkah laku (behavior) ayam yang sangat signifikan. Dalam kondisi normal, di mana temperatur permukaan litter sesuai dengan yang diinginkan oleh DOC, maka dalam tempo kurang dari 15 detik setelah ditebar, DOC akan melakukan aktifitas biologis lanjutan, misalnya melakukan pergerakan (movement), minum dan makan. Jika terjadi renyatan temperatur, maka DOC akan menunda bergerak, minum dan makan. Ini berarti, gangguan pertumbuhan dan kematian ayam dengan berbagai derajat keparahan akibat dehidrasi dan hipoglisemia dengan mudah terjadi pada fase lanjutnya. Manifestasi cloacal pasting umumnya terjadi 3 hari setelah renyatan temperatur, dehidrasi 5 hari setelah renyatan terjadi, sedangkan manifestasi hipoglisemia akan tampak setelah 7 hari. Tidak hanya pada manifestasi dehidrasi, tetapi juga pada manifestasi hipoglisemia, pengamatan bedah bangkai organ tubuh internal ayam yang mati sering kali tidak memuaskan, alias tidak menunjukkan kelainan yang signifikan. Perhatikan juga bagan 2 terlampir.
Sementara itu, menurut Pattison (1997), renyatan temperatur dapat juga
terjadi akibat DOC mengkonsumsi air minum dengan temperatur yang rendah (<200C). Air minum dengan temperatur rendah dapat
menurunkan temperatur tubuh ayam secara mendadak. Di lain pihak, Guillaume Counotte (2000)
melaporkan DOC cenderung menolak untuk minum jika suhu air minum <150C.
Terkait dengan pemberian tahap awal air minum
pada DOC, Noy dan Sklan (1998) melaporkan beberapa hasil penelitiannya terkait
dengan fisiologi awal DOC sbb.:
·
Terstimulasinya peningkatan gerakan peristaltik usus dari di bawah
5 kali per-menit menjadi 12-15 kali per-menit. Efek lanjutnya adalah terstimulasinya
perkembangan alat-alat pencernaan yang sangat diperlukan untuk mencerna bahan
pakan. Jika gerakan peristaltik usus
tidak optimal, maka DOC akan mengalami kesulitan pada saat defekasi (buang
kotoran). Manifestasinya adalah adanya
kotoran yang melekat (lengket) pada kloaka.
·
Terstimulasinya perkembangan lanjut (terutama hiperplasia)
alat-alat pencernaan dan alat pertahanan tubuh (sistem imunitas).
·
Penyerapan sisa kuning telur akan berjalan dengan baik. Ini berarti penyerapan zat kebal induk juga
akan berlangsung dengan baik.
Tampaknya, ayam moderen memang lebih rapuh
dalam temperatur lingkungan yang tidak sesuai.
Keberadaan energi panas dalam tubuh ayam dapat diketahui melalui
temperatur tubuh, yaitu berkisar antara 390-440C. Temperatur tubuh DOC (rata-rata 420C)
relatif lebih tinggi dibanding dengan ayam dewasa (rata-rata 400C). Menurut Teeter (1988), jika temperatur
lingkungan sudah mendekati temperatur rata-rata tubuh secara normal, maka ayam
akan mengalami kesulitan dalam mengeluarkan sisa energi panas tubuh yang
terbentuk dalam proses metabolisme tubuh.
Ayam mulai merasa kegerahan ketika perbedaan antara temperatur tubuh
dengan temperatur lingkungan adalah 80C atau kurang. Jadi, DOC akan mengalami kegerahan jika
temperatur lingkungannya mencapai 340C, sedangkan pada ayam dewasa
310C.
Manifestasi kegerahan pada ayam dapat
dideteksi melalui beberapa perubahan tingkah laku ayam, misalnya:
1. Nafsu makan
akan menurun secara bertahap. Kadang
kala, walaupun secara kuantitatif penurunan konsumsi pakan belum terdeteksi,
namun manifestasi kegerahan dapat dideteksi melalui bertambahnya waktu yang
dibutuhkan untuk menghabiskan sejumlah pakan, terutama saat pagi hari.
2. Konsumsi air
mnum meningkat, bisa sampai dua atau tiga kali dibanding normal. Kebanyakan peternak tidak memperhatikan hal
ini, namun manifestasi lapangan tentang hal ini sebenarnya dapat dideteksi
dengan mengamati pial yang selalu basah atau adanya bekas aliran air (tali air)
pada bagian bawah leher ayam.
3. Ayam cenderung
berkumpul pada area yang lebih sejuk (dengan aliran angin yang baik). Hal ini akan tampak dengan jelas pada sistem
kandang tertutup.
4. Untuk
mempercepat pengeluaran panas melalui konduksi, ayam cenderung mempermainkan
bahan litter, atau bahkan membenamkan tubuhnya ke dalam litter. Di samping itu, tampak sebagian ayam berusaha
meningkatkan pengeluaran panas tubuhnya melalui radiasi yaitu dengan cara
melebarkan sayapnya.
5. Dalam
kondisi yang cukup parah, akan tampak gejala “gasping” alias megap-megap. Gambaran klinisnya, mulut terbuka lebar
dengan frekuensi pernafasan yang tinggi (di atas 70 kali/menit). Jika dibiarkan, kondisi ini dapat
mengakibatkan terjadinya alkalosis dengan derajat yang sangat variatif atau bahkan
kematian ayam yang sifatnya mendadak.
Kejadian alkalosis pada ayam moderen tidak
bisa diabaikan begitu saja. Jika tidak
ada langkah-langkah perbaikan yang dilakukan, berdasarkan laporan Van Beek
(1995), Klasing (1998), serta Shane (1999) ada beberapa efek negatif lanjut
yang biasanya mengikuti kejadian alkalosis, yaitu:
·
Terjadinya gangguan keseimbangan kalsium darah, sehingga
persentasi kalsium bebas dalam darah akan menurun tajam. Efek lanjut dari kondisi ini adalah
menurunnya palatabilitas (manifestasinya nafsu makan menurun), terganggunya
pembentukan tulang, serta adanya gejala kerabang telur yang tipis dan pucat
pada ayam petelur atau bibit. Rendahnya
kalsium bebas darah dapat juga mengakibatkan terhambatnya impuls dari sistem
syaraf pusat ke organ internal, dengan demikian kematian mendadak dapat saja
terjadi akibat kegagalan kerja jantung dan atau paru-paru.
·
Adanya gangguan sintesa vitellogenin dalam sel-sel hati. Vitellogenin merupakan komponen utama kuning
telur. Dalam kondisi alkalosis ringan
yang kronis, walaupun berat telur tidak terganggu, jika rasio antara kuning
telur dengan putih telur (albumin) semakin kecil, maka kualitas DOC yang
dihasilkan akan sangat nyata terganggu.
Adapun gejala yang tampak adalah berat DOC yang lebih ringan (walaupun
bobot telur memenuhi standart untuk ditetaskan), lemah, dehidrasi ringan, serta
kematian yang tinggi di bawah satu minggu tanpa adanya gejala-gejala infeksius.
Pebaikan sirkulasi udara dalam kandang dan
mengurangi kepadatan ayam merupakan saran umum yang sangat dianjurkan untuk
mencegah terjadinya alkalosis. Disamping
itu, evaluasi lanjut mengenai program pemberian pakan serta dinamika energi
antara ayam dan lingkungannya merupakan topik-topik menarik untuk didiskusikan
dalam rangka mengatasi problem kegerahan pada ayam moderen.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar