Rabu, 06 November 2013

Antara Menggigil dan Kegerahan



Ayam moderen sekarang tampaknya memang lebih cengeng.  Temperatur, kelembaban dan kualitas udara yang baik sangat dibutuhkan untuk mengekspresikan potensi genetiknya.  Sebab jika tidak, maka ayam mogok tumbuh atau bahkan mati.  Ujung-ujungnya adalah urusan uang, peternak akan untung atau rugi dalam usaha peternakannya.  Seri pertama tulisan ini hanya membahas hal terkait temperatur, bagaimana respon faali (fisiologis) dan respon kekebalan (imunologis) ayam dalam beradaptasi dengan kondisi lingkungannya.

                Dalam urusan temperatur tubuh, ayam termasuk kategori hewan homeotermal alias hewan berdarah panas.  Tegasnya, temperatur tubuh relatif stabil dan berada dalam selang (range) temperatur tertentu, tidak tergantung pada temperatur lingkungannya.  Akan tetapi, dalam hirarki hewan bertulang belakang (vertebrata), ayam termasuk dalam kelas Aves (bangsa burung) yang merupakan kelas peralihan antara hewan berdarah dingin (poikilotermal) dengan hewan homeotermal.  Itulah sebabnya pada ayam muda (umur di bawah 3 minggu) dikenal masa brooding (masa indukan), di mana pada masa ini kemampuan adaptasinya terhadap temperatur lingkungan masih rendah dan perkembangan lanjut sistem termoregulatornya masih terus terjadi.
                Pengaturan temperatur tubuh hewan homeotermal relatif kompleks dan merupakan suatu sirkuit yang terdiri dari beberapa komponen.  Menurut Romanoff (1967) dan Sturkie (1976), pengaturan temperatur tubuh ayam dilakukan oleh empat komponen penting, yaitu bagian depan (anterior) hipotalamus, bagian pre-optik otak besar (cerebrum), tali syaraf otak kesepuluh (nervus vagus) dan tali-tali syaraf tepi yang sensitif terhadap temperatur (temperature sensitive nerves).
Dalam penelitian lanjut Romanoff diketahui, ayam umur sehari alias DOC belum dapat mengatur temperatur tubuhnya dengan baik.  Mekanisme pengaturan temperatur tubuh yang dilakukan oleh sistem termoregulator baru terjadi secara optimal ketika ayam berumur 8-12 hari.  Di lain pihak, menurut Sturkie komponen termoregulator berupa tali-tali syarat yang sensitif terhadap temperatur pada ayam muda sudah berfungsi dengan baik ketika ayam berumur sehari dan sebagian besar terletak di telapak kaki.  Itulah sebabnya, walaupun komponen termoregulator lainnya (terutama komponen yang merupakan bagian dari otak besar) belum berkembang dengan baik, telapak kaki merupakan organ sensori yang paling penting pada saat DOC berinteraksi pertama kali dengan lingkungannya.
Adalah Riegnier dan Kelley pada tahun 1981 melaporkan pertama kali fenomena renyatan temperatur (temperature shock) pada DOC.  Kondisi ini bisa terjadi jika seekor DOC diletakkan pada permukaan litter dengan temperatur rendah, khususnya pada temperatur di bawah 250C.  Itulah sebabnya, untuk menghindari terjadinya renyatan temperatur pada tahap awal pemeliharaan ayam, pemanas harus dinyalakan minimum satu jam sebelum DOC ditebar di atas litter dalam indukan buatan.
Renyatan temperatur yang terjadi pada DOC tidak bisa dianggap remeh.  Kompilasi dan analisa data penelitian yang dilakukan oleh Dietert (1994), Klasing (1997), Dibner (1998) serta Sklan (1999) menunjukkan beberapa mekanisme lanjut dari renyatan temperatur tersebut, yaitu:
  • Meningkatnya kadar adenocorticotropic hormone (ACTH) yang merupakan suatu indikator terjadinya stres pada DOC yang bersangkutan.  Kadar ACTH yang lebih tinggi dari normal akan membawa dampak lanjut berupa terganggunya proses penyerapan sisa kuning telur.  Ini berarti, penyerapan zat kebal dari induk dan komponen nutrisi lainnya yang terkandung dalam kuning telur jelas terhambat.  Di lain pihak, kadar ACTH yang berlebihan juga akan memberikan efek lazy leucocytes syndrome, yaitu suatu kondisi di mana butir darah putih tidak memberikan respon yang optimal terhadap keberadaan benda asing alias patogen yang menginvasi tubuh ayam bersangkutan.  Manifestasi lapangan dari kejadian-kejadian tersebut di atas adalah terganggunya pertumbuhan lanjut ayam dengan berbagai derajat keparahan dan rentannya ayam terhadap serangan mikroorganisme dari lingkungannya, termasuk mikroorganisme yang terdapat dalam vaksin aktif (reaksi pasca vaksinasi akan berlebihan). Perhatikan juga bagan 1.
  • Adanya perubahan dalam tingkah laku (behavior) ayam yang sangat signifikan.  Dalam kondisi normal, di mana temperatur permukaan litter sesuai dengan yang diinginkan oleh DOC, maka dalam tempo kurang dari 15 detik setelah ditebar, DOC akan melakukan aktifitas biologis lanjutan, misalnya melakukan pergerakan (movement), minum dan makan.  Jika terjadi renyatan temperatur, maka DOC akan menunda bergerak, minum dan makan.  Ini berarti, gangguan pertumbuhan dan kematian ayam dengan berbagai derajat keparahan akibat dehidrasi dan hipoglisemia dengan mudah terjadi pada fase lanjutnya.  Manifestasi cloacal pasting umumnya terjadi 3 hari setelah renyatan temperatur, dehidrasi 5 hari setelah renyatan terjadi, sedangkan manifestasi hipoglisemia akan tampak setelah 7 hari.  Tidak hanya pada manifestasi dehidrasi, tetapi juga pada manifestasi hipoglisemia, pengamatan bedah bangkai organ tubuh internal ayam yang mati sering kali tidak memuaskan, alias tidak menunjukkan kelainan yang signifikan.  Perhatikan juga bagan 2 terlampir.

Sementara itu, menurut Pattison (1997), renyatan temperatur dapat juga terjadi akibat DOC mengkonsumsi air minum dengan temperatur yang rendah (<200C).  Air minum dengan temperatur rendah dapat menurunkan temperatur tubuh ayam secara mendadak.  Di lain pihak, Guillaume Counotte (2000) melaporkan DOC cenderung menolak untuk minum jika suhu air minum <150C.
Terkait dengan pemberian tahap awal air minum pada DOC, Noy dan Sklan (1998) melaporkan beberapa hasil penelitiannya terkait dengan fisiologi awal DOC sbb.:
·         Terstimulasinya peningkatan gerakan peristaltik usus dari di bawah 5 kali per-menit menjadi 12-15 kali per-menit.  Efek lanjutnya adalah terstimulasinya perkembangan alat-alat pencernaan yang sangat diperlukan untuk mencerna bahan pakan.  Jika gerakan peristaltik usus tidak optimal, maka DOC akan mengalami kesulitan pada saat defekasi (buang kotoran).  Manifestasinya adalah adanya kotoran yang melekat (lengket) pada kloaka.
·         Terstimulasinya perkembangan lanjut (terutama hiperplasia) alat-alat pencernaan dan alat pertahanan tubuh (sistem imunitas).
·         Penyerapan sisa kuning telur akan berjalan dengan baik.  Ini berarti penyerapan zat kebal induk juga akan berlangsung dengan baik.
Tampaknya, ayam moderen memang lebih rapuh dalam temperatur lingkungan yang tidak sesuai.  Keberadaan energi panas dalam tubuh ayam dapat diketahui melalui temperatur tubuh, yaitu berkisar antara 390-440C.  Temperatur tubuh DOC (rata-rata 420C) relatif lebih tinggi dibanding dengan ayam dewasa (rata-rata 400C).  Menurut Teeter (1988), jika temperatur lingkungan sudah mendekati temperatur rata-rata tubuh secara normal, maka ayam akan mengalami kesulitan dalam mengeluarkan sisa energi panas tubuh yang terbentuk dalam proses metabolisme tubuh.  Ayam mulai merasa kegerahan ketika perbedaan antara temperatur tubuh dengan temperatur lingkungan adalah 80C atau kurang.  Jadi, DOC akan mengalami kegerahan jika temperatur lingkungannya mencapai 340C, sedangkan pada ayam dewasa 310C.
Manifestasi kegerahan pada ayam dapat dideteksi melalui beberapa perubahan tingkah laku ayam, misalnya:
1.       Nafsu makan akan menurun secara bertahap.  Kadang kala, walaupun secara kuantitatif penurunan konsumsi pakan belum terdeteksi, namun manifestasi kegerahan dapat dideteksi melalui bertambahnya waktu yang dibutuhkan untuk menghabiskan sejumlah pakan, terutama saat pagi hari.
2.       Konsumsi air mnum meningkat, bisa sampai dua atau tiga kali dibanding normal.  Kebanyakan peternak tidak memperhatikan hal ini, namun manifestasi lapangan tentang hal ini sebenarnya dapat dideteksi dengan mengamati pial yang selalu basah atau adanya bekas aliran air (tali air) pada bagian bawah leher ayam.
3.       Ayam cenderung berkumpul pada area yang lebih sejuk (dengan aliran angin yang baik).  Hal ini akan tampak dengan jelas pada sistem kandang tertutup.
4.       Untuk mempercepat pengeluaran panas melalui konduksi, ayam cenderung mempermainkan bahan litter, atau bahkan membenamkan tubuhnya ke dalam litter.  Di samping itu, tampak sebagian ayam berusaha meningkatkan pengeluaran panas tubuhnya melalui radiasi yaitu dengan cara melebarkan sayapnya.
5.       Dalam kondisi yang cukup parah, akan tampak gejala “gasping” alias megap-megap.  Gambaran klinisnya, mulut terbuka lebar dengan frekuensi pernafasan yang tinggi (di atas 70 kali/menit).  Jika dibiarkan, kondisi ini dapat mengakibatkan terjadinya alkalosis dengan derajat yang sangat variatif atau bahkan kematian ayam yang sifatnya mendadak.

Kejadian alkalosis pada ayam moderen tidak bisa diabaikan begitu saja.  Jika tidak ada langkah-langkah perbaikan yang dilakukan, berdasarkan laporan Van Beek (1995), Klasing (1998), serta Shane (1999) ada beberapa efek negatif lanjut yang biasanya mengikuti kejadian alkalosis, yaitu:
·         Terjadinya gangguan keseimbangan kalsium darah, sehingga persentasi kalsium bebas dalam darah akan menurun tajam.  Efek lanjut dari kondisi ini adalah menurunnya palatabilitas (manifestasinya nafsu makan menurun), terganggunya pembentukan tulang, serta adanya gejala kerabang telur yang tipis dan pucat pada ayam petelur atau bibit.  Rendahnya kalsium bebas darah dapat juga mengakibatkan terhambatnya impuls dari sistem syaraf pusat ke organ internal, dengan demikian kematian mendadak dapat saja terjadi akibat kegagalan kerja jantung dan atau paru-paru.
·         Adanya gangguan sintesa vitellogenin dalam sel-sel hati.  Vitellogenin merupakan komponen utama kuning telur.  Dalam kondisi alkalosis ringan yang kronis, walaupun berat telur tidak terganggu, jika rasio antara kuning telur dengan putih telur (albumin) semakin kecil, maka kualitas DOC yang dihasilkan akan sangat nyata terganggu.  Adapun gejala yang tampak adalah berat DOC yang lebih ringan (walaupun bobot telur memenuhi standart untuk ditetaskan), lemah, dehidrasi ringan, serta kematian yang tinggi di bawah satu minggu tanpa adanya gejala-gejala infeksius.

Pebaikan sirkulasi udara dalam kandang dan mengurangi kepadatan ayam merupakan saran umum yang sangat dianjurkan untuk mencegah terjadinya alkalosis.  Disamping itu, evaluasi lanjut mengenai program pemberian pakan serta dinamika energi antara ayam dan lingkungannya merupakan topik-topik menarik untuk didiskusikan dalam rangka mengatasi problem kegerahan pada ayam moderen.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar