Kegagalan suatu inovasi baru dapat
disebabkan oleh macetnya komunikasi, begitu kata seorang ahli komunikasi
masa. Tampaknya, pendapat sang ahli
tersebut tidak bisa dipungkiri, terutama kalau berbicara tentang ayam
moderen. Tulisan ini tidak saja mencoba
mengupas fakta fenotip ayam broiler akibat perbaikan genetika, tapi juga
perubahan tata laksana pemeliharaannya yang harus disesuaikan seiring dengan
perubahan fakta fenotip tersebut.
Hampir
semua praktisi lapang sepakat, bahwa ayam broiler sekarang tidak sama dengan
ayam broiler sepuluh tahun yang lalu.
Perubahan Titik Tumpu Tubuh
Perlombaan
setiap strain ayam broiler untuk menghasilkan porsi otot dada yang lebih besar
(breast meat type) ternyata mengakibatkan terjadinya pergeseran titik tumpu
tubuh secara signifikan, terutama ketika ayam berumur 3 minggu ke atas. Titik tumpu tubuh yang tadinya berada di
sekitar pangkal telapak kaki akan bergeser lebih ke arah anterior (depan) yaitu
di suatu titik di dekat ujung jari kaki (sepertiga dari ujung jari kaki). Manifestasi lapang dari kondisi ini adalah
ayam menjadi lebih malas bergerak, karena perubahan titik tumpu ternyata
membuat ayam berjalan bagai seorang penari balet, bertumpu pada ujung-ujung
jari kaki.
Terkait dengan
kondisi di atas, ayam broiler moderen tentu saja akan lebih mudah mengalami
gangguan pertumbuhan dan atau gangguan keseragaman ayam (uniformity) yang
disebabkan oleh:
¨
Jumlah tempat pakan dan tempat minum
yang tidak sebanding dengan jumlah ayam (rasio) dalam suatu kandang.
¨
Distribusi dan ketinggian tempat pakan
dan tempat minum yang tidak disesuaikan dengan perkembangan ayam.
Untuk
mengatasi hal ini, silahkan periksa kembali kebutuhan tempat pakan dan tempat
minum yang harus disediakan pada umur ayam tertentu berdasarkan kebutuhan
masing-masing strain ayam.
Gangguan Pertumbuhan
Fakta
lapangan lapangan menunjukkan, kasus ayam kerdil masih saja tetap menjadi
perdebatan antara pihak pembibit ayam di satu pihak dengan peternak broiler di
pihak lain. Di antara para ahli
perunggasan pun kejadian serupa masih terjadi, karena memang, sampai saat ini,
si pembuat ulah gangguan pertumbuhan pada ayam moderen ini belum diketahui
ujudnya secara rinci.
Pengalaman
lapang penulis menunjukkan bahwa kejadian “kerdil” pada tingkat ayam broiler
moderen sering kali tidak didahului oleh adanya gangguan penampilan pada flok
ayam induknya secara kasat mata. Kondisi
umum ayam induk, persentase produksi telur, bobot telur tetas, persentase angka
tetas (hatchability), maupun bobot DOC (ayam umur sehari) yang dihasilkan
umumnya tidak mengalami gangguan yang nyata.
Itulah sebabnya, ketika DOC yang dihasilkannya mengalami banyak kasus
“kerdil”, penanggungjawab pembibitan alias “farm manager” sering kali mengalami
kebingungan. Apalagi uji-uji
laboratorium belum pernah menunjukkan suatu hasil yang dapat membantu
memecahkan permasalahan mereka ini.
Di
dunia ini, semua yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa selalu berada dalam
keadaan seimbang dan harmoni. Jika
terjadi eksploitasi dari satu sisi (karakter), maka tentu saja akan memberikan
suatu efek tertentu pada sisi (karakter) lain.
Eksploitasi yang berlebihan pada penampilan ayam broiler moderen
misalnya, baik pada aspek perbaikan konversi pakan maupun pertambahan bobot
badan per-hari, menurut penulis, tentu saja dapat memberikan efek negatif tertentu bagi
kehidupan ayam itu sendiri (lihat juga tabel 1).
Tabel 1:
Perimbangan
Perbaikan Genetik vs Penampilan Fenotip
Pada Broiler Moderen
Selanjutnya,
mari kita telaah hubungan antara perkembangan industri ayam broiler (perbaikan
genetik ayam broiler) dengan perbaikan penampilan dan kasus-kasus penyakit ayam
broiler itu sendiri.
![]() |
Fase industri ayam broiler tahun 1920-1950
Seperti
yang kita ketahui bersama bahwa industri peternakan ayam broiler sudah dimulai
sejak tahun duapuluhan. Pada tahun
1920-1950, para ahli perunggasan dunia mencoba memperbaiki penampilan akhir
ayam broiler dengan melakukan seleksi genetik dan penyilangan dari jenis-jenis
ayam di dunia yang mempunyai penampilan yang terbaik secara alamiah. Tersebutlah misalnya, jenis-jenis ayam
seperti White Cornish, White Plymouth Rock, New Hampshire dan beberapa jenis
lainnya menjadi fokus pengembangan pada masa ini, yang kemudian terus berlanjut
sampai sekarang.
Dalam sejarah penyakit unggas, fase ini ditandai
dengan ditemukannya kasus-kasus penyakit yang secara alamiah memang dapat
menjadi problem yang cukup potensial bagi ayam itu sendiri, misalnya penyakit
ND (tetelo), penyakit berak kapur (pullorum), dan IB (penyakit bronkhitis
menular). Sampai akhir fase ini, para
ahli penyakit unggas mempunyai kemampuan untuk mendeteksi agen penyebab secara
rinci dan diikuti dengan penemuan perangkat pengendalian ataupun pengobatannya
seperti penggunaan vaksin ataupun preparat antimikroba.
Fase industri ayam broiler tahun 1950-1970
Pada
fase selanjutnya, yaitu pada fase perkembangan industri broiler antara tahun
1950-1970, tidak saja seleksi genetik dan penyilangan jenis-jenis ayam yang
mempunyai penampilan unggul terus berlangsung, tapi juga diikuti dengan
perkembangan yang pesat dalam ilmu nutrisi unggas (feed technology) dan
teknologi pemeliharaan yang mengarah kepada efisiensi dan pemanfaatan potensi
genetik secara maksimal.
Pengaruh
intervensi manusia dalam kehidupan ayam broiler dalam fase ini sudah mulai
terlihat dengan ditemukannya beberapa kasus penyakit yang secara alamiah sangat
jarang dapat menunjukkan gejala klinis yang nyata atau bahkan menjadi suatu
ledakan kasus. Kadang kala
penyakit-penyakit kelompok ini disebut “man made diseases”. Tersebutlah misalnya, koksidiosis (penyakit
berak darah) dan CRD (penyakit ngorok menahun).
Di
alam bebas, kasus koksidiosis ayam hampir tidak pernah menunjukkan gejala
klinis yang jelas, apalagi sampai mengakibatkan ledakan kasus. Pada koksidiosis ini, ada korelasi yang erat
antara penampakan gejala klinis dengan banyaknya ookista (bentuk antara
koksidia di dalam kotoran ayam) yang termakan oleh ayam dalam satu satuan waktu
yang singkat. Oleh sebab itu, makin
tinggi kepadatan ayam dalam satu satuan tempat tertentu, maka makin besar
peluang ayam untuk mengkonsumsi ookista dalam jumlah besar dalam satuan waktu
yang singkat dan makin besar pula peluang terjadinya penampakan gejala klinis
atau bahkan ledakan kasus koksidiosis.
Hal
yang serupa juga terjadi dengan CRD.
Agen penginduksi kasus ini, yaitu mikoplasma, secara alamiah tidak
mempunyai kemampuan yang baik untuk hidup di luar tubuh ayam dalam jangka waktu
yang lama. Oleh sebab itu, di alam,
penularan dan peningkatan keganasannya pun tidak terlalu progresif seperti yang
terjadi pada ayam broiler yang dipelihara dalam suatu kandang dengan kepadatan
yang cukup tinggi, apa lagi sampai terjadinya ledakan kasus.
Para
ahli penyakit unggas, dalam fase ini masih mempunyai kemampuan untuk mendeteksi
agen penyebab dan menganalisa kejadian kasus dengan baik, termasuk menemukan
perangkat-perangkat penangkalnya.
Fase industri ayam broiler di atas tahun 1970
Pada
fase perkembangan ayam broiler selanjutnya, yaitu masa-masa setelah tahun 1970,
industri ayam broiler ditandai dengan perbaikan penampilan ayam yang
spektakuler, baik itu perbaikan dalam aspek konversi pakan maupun pertambahan bobot badan ayam setiap
harinya. Perbaikan penampilan ini
disebabkan oleh kemajuan teknologi dalam rekayasa genetika, teknologi
perkandangan, maupun teknologi dalam ilmu nutrisi unggas. Perbaikan penampilan ayam yang dilakukan
secara spektakuler tersebut tentu saja akan mengakibatkan kondisi stres
internal bagi ayam broiler masa kini.
Coba bandingkan, secara alamiah, bobot badan ayam dapat mencapai 1
kg/ekor dalam kurun waktu sekitar 5 bulan dengan konversi pakan (FCR) 3,5 ke
atas, sedangkan ayam broiler moderen masa kini dapat mencapai bobot badan di
atas 1,5 kg/ekor hanya dalam tempo 35
hari dengan konversi pakan di bawah 1,8.
Bandingkan dengan bobot DOC rata-rata 35-40 gram/ekor.
Kompleksitas Kasus
Adanya
rekayasa genetika tentu saja menuntut perbaikan dalam aspek-aspek lainnya,
termasuk dalam kualitas pakan yang diberikan dan tata laksana peternakan
broiler itu sendiri. Sayangnya, alih
teknologi tata laksana peternakan broiler moderen sering kali terlambat
dibandingkan dengan perbaikan genetika ayam broiler itu sendiri. Banyak faktor yang menjadi penyebabnya, salah
satunya adalah keengganan para peternak tradisional untuk mengadopsi teknologi
baru. Dengan demikian, perbaikan genetik
yang menuntut perbaikan kualitas pemeliharaan berjalan tidak selaras. Hal ini tentu saja akan mengakibatkan kondisi
stres tambahan buat ayam-ayam broiler moderen.
Kondisi stres yang berkepanjangan (baik internal maupun eksternal) jelas
akan mengakibatkan rendahnya kemampuan ayam untuk berinteraksi dengan kondisi
sekitarnya, termasuk terhadap perubahan cuaca (suhu dan/atau kelembaban) dan
mikroorganisme sekelilingnya (termasuk mikroorganisme di permukaan saluran
pernafasan dan atau saluran pencernaan).
Jadi …, janganlah heran, bila pada peternakan broiler moderen, problem
kompleks yang sering muncul biasanya terkait dengan sistem pernafasan dan atau
sistem pencernaan ayam. Semua ini akan
bermuara dengan rendahnya kemampuan ayam untuk beradaptasi dengan keadaan
sekelilingnya alias mengalami kondisi imumosupresi. Dan jangan heran pula, kasus-kasus yang
disebutkan di atas akan mempunyai prevalensi dan tingkat keparahan yang cukup
tinggi pada peternakan-peternakan broiler tradisional alias peternakan rakyat.
Rendahnya
kemampuan adaptasi ini tentu saja akan
mengakibatkan kasus-kasus kompleks yang umumnya sangat sulit untuk
dikendalikan. Sebut saja misalnya SMS
(spiking mortality syndrome), SDS (sudden death syndrome), asites (waterbelly
syndrome), SHS (swollen head syndrome), kelumpuhan pada ayam broiler (leg
problem syndrome), penyakit ngorok menahun yang cenderung kompleks (CCRD =
complex chronic respiratory disease), dan tentu saja RSS (runting and stunting
syndrome alias ayam kerdil). Semua kasus
tersebut di atas banyak dilaporkan setelah tahun 1970, dan sampai saat ini,
baru problem asites dan kelumpuhan pada ayam broiler yang bisa diatasi dengan
baik, yaitu dengan melakukan rekayasa genetik kembali dan perbaikan dalam aspek
imbangan nutrisi yang diberikan pada broiler modern.
Rekayasa
genetika itu sendiri tidak jelek, dan sangat penting untuk mempercepat
perbaikan penampilan ayam broiler, asal juga diikuti dengan perbaikan pada
aspek lain, sehingga kebutuhan protein hewani dunia akan tercapai. Karena kalau
kita mengeksploitasi perbaikan pada satu sisi (konversi pakan dan pertambahan
bobot badan per-hari), kita harus “membayar”nya pada sisi lain, yaitu dengan
perbaikan dalam kualitas pakan dan tata laksana peternakan itu sendiri. Adanya manifestasi gangguan pertumbuhan alias
kerdil, bisa juga diartikan ayam-ayam broiler moderen memerlukan “perhatian”
atau “perlakuan” yang lebih dibandingkan dengan ayam broiler tempo dulu. Jadi …, sementara agen penyebab utama belum
diketahui secara pasti, dan untuk mengurangi kerugian yang akan timbul, bukankah
lebih baik kita mencurahkan perhatian kita pada perbaikan tata laksana
pemeliharaan dari waktu ke waktu, terutama tata laksana pemeliharaan di
awal-awal kehidupan ayam broiler itu sendiri?
Dengan demikian, ayam broiler yang kita pelihara akan menampilkan
potensi genetik yang sesungguhnya, tidak lagi “ngambek” alias mogok tumbuh dan
menjadi si “unyil” yang tidak indah.

Tidak ada komentar:
Posting Komentar