Rabu, 06 November 2013

Ada Apa Dengan Broiler?



Kegagalan suatu inovasi baru dapat disebabkan oleh macetnya komunikasi, begitu kata seorang ahli komunikasi masa.  Tampaknya, pendapat sang ahli tersebut tidak bisa dipungkiri, terutama kalau berbicara tentang ayam moderen.  Tulisan ini tidak saja mencoba mengupas fakta fenotip ayam broiler akibat perbaikan genetika, tapi juga perubahan tata laksana pemeliharaannya yang harus disesuaikan seiring dengan perubahan fakta fenotip tersebut.
Hampir semua praktisi lapang sepakat, bahwa ayam broiler sekarang tidak sama dengan ayam broiler sepuluh tahun yang lalu.


Perubahan Titik Tumpu Tubuh

            Perlombaan setiap strain ayam broiler untuk menghasilkan porsi otot dada yang lebih besar (breast meat type) ternyata mengakibatkan terjadinya pergeseran titik tumpu tubuh secara signifikan, terutama ketika ayam berumur 3 minggu ke atas.  Titik tumpu tubuh yang tadinya berada di sekitar pangkal telapak kaki akan bergeser lebih ke arah anterior (depan) yaitu di suatu titik di dekat ujung jari kaki (sepertiga dari ujung jari kaki).  Manifestasi lapang dari kondisi ini adalah ayam menjadi lebih malas bergerak, karena perubahan titik tumpu ternyata membuat ayam berjalan bagai seorang penari balet, bertumpu pada ujung-ujung jari kaki.
Terkait dengan kondisi di atas, ayam broiler moderen tentu saja akan lebih mudah mengalami gangguan pertumbuhan dan atau gangguan keseragaman ayam (uniformity) yang disebabkan oleh:
¨      Jumlah tempat pakan dan tempat minum yang tidak sebanding dengan jumlah ayam (rasio) dalam suatu kandang.
¨      Distribusi dan ketinggian tempat pakan dan tempat minum yang tidak disesuaikan dengan perkembangan ayam.
Untuk mengatasi hal ini, silahkan periksa kembali kebutuhan tempat pakan dan tempat minum yang harus disediakan pada umur ayam tertentu berdasarkan kebutuhan masing-masing strain ayam.

Gangguan Pertumbuhan

Fakta lapangan lapangan menunjukkan, kasus ayam kerdil masih saja tetap menjadi perdebatan antara pihak pembibit ayam di satu pihak dengan peternak broiler di pihak lain.  Di antara para ahli perunggasan pun kejadian serupa masih terjadi, karena memang, sampai saat ini, si pembuat ulah gangguan pertumbuhan pada ayam moderen ini belum diketahui ujudnya secara rinci. 
Pengalaman lapang penulis menunjukkan bahwa kejadian “kerdil” pada tingkat ayam broiler moderen sering kali tidak didahului oleh adanya gangguan penampilan pada flok ayam induknya secara kasat mata.  Kondisi umum ayam induk, persentase produksi telur, bobot telur tetas, persentase angka tetas (hatchability), maupun bobot DOC (ayam umur sehari) yang dihasilkan umumnya tidak mengalami gangguan yang nyata.  Itulah sebabnya, ketika DOC yang dihasilkannya mengalami banyak kasus “kerdil”, penanggungjawab pembibitan alias “farm manager” sering kali mengalami kebingungan.  Apalagi uji-uji laboratorium belum pernah menunjukkan suatu hasil yang dapat membantu memecahkan permasalahan mereka ini.
Di dunia ini, semua yang diciptakan oleh Yang Maha Kuasa selalu berada dalam keadaan seimbang dan harmoni.  Jika terjadi eksploitasi dari satu sisi (karakter), maka tentu saja akan memberikan suatu efek tertentu pada sisi (karakter) lain.  Eksploitasi yang berlebihan pada penampilan ayam broiler moderen misalnya, baik pada aspek perbaikan konversi pakan maupun pertambahan bobot badan per-hari, menurut penulis, tentu saja dapat  memberikan efek negatif tertentu bagi kehidupan ayam itu sendiri (lihat juga tabel 1). 

Tabel 1:  Perimbangan Perbaikan Genetik vs Penampilan Fenotip

                 Pada Broiler Moderen




Selanjutnya, mari kita telaah hubungan antara perkembangan industri ayam broiler (perbaikan genetik ayam broiler) dengan perbaikan penampilan dan kasus-kasus penyakit ayam broiler itu sendiri.





Fase industri ayam broiler tahun 1920-1950

Seperti yang kita ketahui bersama bahwa industri peternakan ayam broiler sudah dimulai sejak tahun duapuluhan.  Pada tahun 1920-1950, para ahli perunggasan dunia mencoba memperbaiki penampilan akhir ayam broiler dengan melakukan seleksi genetik dan penyilangan dari jenis-jenis ayam di dunia yang mempunyai penampilan yang terbaik secara alamiah.  Tersebutlah misalnya, jenis-jenis ayam seperti White Cornish, White Plymouth Rock, New Hampshire dan beberapa jenis lainnya menjadi fokus pengembangan pada masa ini, yang kemudian terus berlanjut sampai sekarang.
Dalam sejarah penyakit unggas, fase ini ditandai dengan ditemukannya kasus-kasus penyakit yang secara alamiah memang dapat menjadi problem yang cukup potensial bagi ayam itu sendiri, misalnya penyakit ND (tetelo), penyakit berak kapur (pullorum), dan IB (penyakit bronkhitis menular).  Sampai akhir fase ini, para ahli penyakit unggas mempunyai kemampuan untuk mendeteksi agen penyebab secara rinci dan diikuti dengan penemuan perangkat pengendalian ataupun pengobatannya seperti penggunaan vaksin ataupun preparat antimikroba.

Fase industri ayam broiler tahun 1950-1970

Pada fase selanjutnya, yaitu pada fase perkembangan industri broiler antara tahun 1950-1970, tidak saja seleksi genetik dan penyilangan jenis-jenis ayam yang mempunyai penampilan unggul terus berlangsung, tapi juga diikuti dengan perkembangan yang pesat dalam ilmu nutrisi unggas (feed technology) dan teknologi pemeliharaan yang mengarah kepada efisiensi dan pemanfaatan potensi genetik secara maksimal.
Pengaruh intervensi manusia dalam kehidupan ayam broiler dalam fase ini sudah mulai terlihat dengan ditemukannya beberapa kasus penyakit yang secara alamiah sangat jarang dapat menunjukkan gejala klinis yang nyata atau bahkan menjadi suatu ledakan kasus.  Kadang kala penyakit-penyakit kelompok ini disebut “man made diseases”.  Tersebutlah misalnya, koksidiosis (penyakit berak darah) dan CRD (penyakit ngorok menahun). 
Di alam bebas, kasus koksidiosis ayam hampir tidak pernah menunjukkan gejala klinis yang jelas, apalagi sampai mengakibatkan ledakan kasus.  Pada koksidiosis ini, ada korelasi yang erat antara penampakan gejala klinis dengan banyaknya ookista (bentuk antara koksidia di dalam kotoran ayam) yang termakan oleh ayam dalam satu satuan waktu yang singkat.  Oleh sebab itu, makin tinggi kepadatan ayam dalam satu satuan tempat tertentu, maka makin besar peluang ayam untuk mengkonsumsi ookista dalam jumlah besar dalam satuan waktu yang singkat dan makin besar pula peluang terjadinya penampakan gejala klinis atau bahkan ledakan kasus koksidiosis.
Hal yang serupa juga terjadi dengan CRD.  Agen penginduksi kasus ini, yaitu mikoplasma, secara alamiah tidak mempunyai kemampuan yang baik untuk hidup di luar tubuh ayam dalam jangka waktu yang lama.  Oleh sebab itu, di alam, penularan dan peningkatan keganasannya pun tidak terlalu progresif seperti yang terjadi pada ayam broiler yang dipelihara dalam suatu kandang dengan kepadatan yang cukup tinggi, apa lagi sampai terjadinya ledakan kasus.
Para ahli penyakit unggas, dalam fase ini masih mempunyai kemampuan untuk mendeteksi agen penyebab dan menganalisa kejadian kasus dengan baik, termasuk menemukan perangkat-perangkat penangkalnya.

Fase industri ayam broiler di atas tahun 1970

Pada fase perkembangan ayam broiler selanjutnya, yaitu masa-masa setelah tahun 1970, industri ayam broiler ditandai dengan perbaikan penampilan ayam yang spektakuler, baik itu perbaikan dalam aspek konversi pakan  maupun pertambahan bobot badan ayam setiap harinya.  Perbaikan penampilan ini disebabkan oleh kemajuan teknologi dalam rekayasa genetika, teknologi perkandangan, maupun teknologi dalam ilmu nutrisi unggas.  Perbaikan penampilan ayam yang dilakukan secara spektakuler tersebut tentu saja akan mengakibatkan kondisi stres internal bagi ayam broiler masa kini.  Coba bandingkan, secara alamiah, bobot badan ayam dapat mencapai 1 kg/ekor dalam kurun waktu sekitar 5 bulan dengan konversi pakan (FCR) 3,5 ke atas, sedangkan ayam broiler moderen masa kini dapat mencapai bobot badan di atas 1,5 kg/ekor  hanya dalam tempo 35 hari dengan konversi pakan di bawah 1,8.  Bandingkan dengan bobot DOC rata-rata 35-40 gram/ekor.

Kompleksitas Kasus

Adanya rekayasa genetika tentu saja menuntut perbaikan dalam aspek-aspek lainnya, termasuk dalam kualitas pakan yang diberikan dan tata laksana peternakan broiler itu sendiri.  Sayangnya, alih teknologi tata laksana peternakan broiler moderen sering kali terlambat dibandingkan dengan perbaikan genetika ayam broiler itu sendiri.  Banyak faktor yang menjadi penyebabnya, salah satunya adalah keengganan para peternak tradisional untuk mengadopsi teknologi baru.  Dengan demikian, perbaikan genetik yang menuntut perbaikan kualitas pemeliharaan berjalan tidak selaras.  Hal ini tentu saja akan mengakibatkan kondisi stres tambahan buat ayam-ayam broiler moderen.  Kondisi stres yang berkepanjangan (baik internal maupun eksternal) jelas akan mengakibatkan rendahnya kemampuan ayam untuk berinteraksi dengan kondisi sekitarnya, termasuk terhadap perubahan cuaca (suhu dan/atau kelembaban) dan mikroorganisme sekelilingnya (termasuk mikroorganisme di permukaan saluran pernafasan dan atau saluran pencernaan).  Jadi …, janganlah heran, bila pada peternakan broiler moderen, problem kompleks yang sering muncul biasanya terkait dengan sistem pernafasan dan atau sistem pencernaan ayam.  Semua ini akan bermuara dengan rendahnya kemampuan ayam untuk beradaptasi dengan keadaan sekelilingnya alias mengalami kondisi imumosupresi.  Dan jangan heran pula, kasus-kasus yang disebutkan di atas akan mempunyai prevalensi dan tingkat keparahan yang cukup tinggi pada peternakan-peternakan broiler tradisional alias peternakan rakyat.
Rendahnya kemampuan adaptasi  ini tentu saja akan mengakibatkan kasus-kasus kompleks yang umumnya sangat sulit untuk dikendalikan.  Sebut saja misalnya SMS (spiking mortality syndrome), SDS (sudden death syndrome), asites (waterbelly syndrome), SHS (swollen head syndrome), kelumpuhan pada ayam broiler (leg problem syndrome), penyakit ngorok menahun yang cenderung kompleks (CCRD = complex chronic respiratory disease), dan tentu saja RSS (runting and stunting syndrome alias ayam kerdil).  Semua kasus tersebut di atas banyak dilaporkan setelah tahun 1970, dan sampai saat ini, baru problem asites dan kelumpuhan pada ayam broiler yang bisa diatasi dengan baik, yaitu dengan melakukan rekayasa genetik kembali dan perbaikan dalam aspek imbangan nutrisi yang diberikan pada broiler modern.
Rekayasa genetika itu sendiri tidak jelek, dan sangat penting untuk mempercepat perbaikan penampilan ayam broiler, asal juga diikuti dengan perbaikan pada aspek lain, sehingga kebutuhan protein hewani dunia akan tercapai. Karena kalau kita mengeksploitasi perbaikan pada satu sisi (konversi pakan dan pertambahan bobot badan per-hari), kita harus “membayar”nya pada sisi lain, yaitu dengan perbaikan dalam kualitas pakan dan tata laksana peternakan itu sendiri.  Adanya manifestasi gangguan pertumbuhan alias kerdil, bisa juga diartikan ayam-ayam broiler moderen memerlukan “perhatian” atau “perlakuan” yang lebih dibandingkan dengan ayam broiler tempo dulu.  Jadi …, sementara agen penyebab utama belum diketahui secara pasti, dan untuk mengurangi kerugian yang akan timbul, bukankah lebih baik kita mencurahkan perhatian kita pada perbaikan tata laksana pemeliharaan dari waktu ke waktu, terutama tata laksana pemeliharaan di awal-awal kehidupan ayam broiler itu sendiri?  Dengan demikian, ayam broiler yang kita pelihara akan menampilkan potensi genetik yang sesungguhnya, tidak lagi “ngambek” alias mogok tumbuh dan menjadi si  “unyil” yang tidak indah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar